Senin, 05 Maret 2018

SMONG : Kearifan Lokal masyarakat Simeule yang menyelamatkan



Terjangan tsunami yang terjadi pada 26 Desember 2004 mampu meluluhlantahkan hampir sebagian wilayah pesisir Aceh. Akan tetapi, dalam tragedi yang memilukan tersebut terdapat sebuah keajaiban yang terjadi di Pulau yang bernama Simeule. Ketika terjangan tsunami mengakibatkan jatuhnya banyak korban jiwa dan juga luka, hal tersebut tidak berlaku bagi masyarakat Pulau Simeule. Padahal berdasarkan letak geografis pulau ini berbatasan dengan Samudra hindia di semua arah. Sebelah barat : berbatasan dengan Samudera Hindia,  Sebelah utara : berbatasan dengan Samudera Hindia, Sebelah timur : berbatasan dengan Samudera Hindia, Sebelah selatan : berbatasan dengan Samudera Hindia.

Perhatikan peta berikut :
Provinsi Aceh


Pulau Simeule

Berdasarkan perkiraan jumlah korban tsunami tersebut, sekitar 160.000an orang dinyatakan tewas dalam bencana tersebut, sementara di wilayah Simeule yang tentu saja ‘lebih dekat’ dengan sumber gempa, jumlah korban dari terjangan tsunami tidak begitu besar, yaitu berjumlah 7 orang.

Bagaimana bisa suatu wilayah yang sekiranya lebih dekat dengan sumber bencana memiliki jumlah korban yang berbeda jauh dengan jumlah korban di daratan besar Sumatera? Salah satu jawabannya selain karena kehendak Yang Maha Kuasa, di masyarakat Simeule terdapat sebuah kearifan lokal yang mampu menjadi sebuah peringatan dini dalam mengantisipasi bencana tsunami yang datang. Kearifan lokal tersebut merupakan suatu bentuk pembelajaran sejarah yang pernah di alami oleh msyarakat Simeule pada masa lalu, apakah itu? Dan bentuk kearifan lokal seperti apa yang mampu menjadi peringatan dini tersebut?

Yappp,,, jika merunut ke peristiwa masa lalu, tepatnya pada tahun 1907, terjadi peristiwa gelombang besar yang menghantam pulau Simeule dan menyebebkan jumlah korban jiwa yang diperkirakan cukup banyak. Pada saat itu, sebelum terjadi gelombang tsunami, terjadi gempa dan air laut tiba-tiba surut. Melihat surutnya air laut dan tampak ikan-ikan mudah untuk ditangkap, akhirnya menyebabkan masyarakat pergi ke laut untuk menangkapnya, namun tak disangka tak lama kemudian datanglah tsunami dan masyrakat yang sedang menangkapi ikanpun tidak memiliki waktu yang banyak untuk menghindari terjangan tsunami tersebut. Berdasarkan pengalaman tersebut, masyarakat yang selamat dari kejadian itu akhirnya mengisahkan itu lewat lagu pengatar tidur bagi anak2 yang disebut sebagai SMONG, berikut petikan dari lagu tersebut:

Enggel mon sao curito…(Dengarlah sebuah cerita)
Inang maso semonan…(Pada zaman dahulu)
Manoknop sao fano…(Tenggelam satu desa)
Uwi lah da sesewan…(Begitulah mereka ceritakan)
Unen ne alek linon…(Diawali oleh gempa)
Fesang bakat ne mali…(Disusul ombak yang besar sekali)
Manoknop sao hampong…(Tenggelam seluruh negeri)
Tibo-tibo mawi…(Tiba-tiba saja)
Anga linon ne mali…(Jika gempanya kuat)
Uwek suruik sahuli…(Disusul air yang surut)
Maheya mihawali…(Segeralah cari)
Fano me singa tenggi…(Tempat kalian yang lebih tinggi)
Ede smong kahanne…(Itulah smong namanya)
Turiang da nenekta…(Sejarah nenek moyang kita)
Miredem teher ere…(Ingatlah ini betul-betul)
Pesan dan navi da…(Pesan dan nasihatnya).




NB : summary dari berbagai sumber