Terjangan
tsunami yang terjadi pada 26 Desember 2004 mampu meluluhlantahkan hampir
sebagian wilayah pesisir Aceh. Akan tetapi, dalam tragedi yang memilukan tersebut
terdapat sebuah keajaiban yang terjadi di Pulau yang bernama Simeule. Ketika
terjangan tsunami mengakibatkan jatuhnya banyak korban jiwa dan juga luka, hal
tersebut tidak berlaku bagi masyarakat Pulau Simeule. Padahal berdasarkan letak
geografis pulau ini berbatasan dengan Samudra hindia di semua arah. Sebelah
barat : berbatasan dengan Samudera Hindia,
Sebelah utara : berbatasan dengan Samudera Hindia, Sebelah timur :
berbatasan dengan Samudera Hindia, Sebelah selatan : berbatasan dengan Samudera
Hindia.
Perhatikan
peta berikut :
Provinsi
Aceh
Pulau
Simeule
Berdasarkan
perkiraan jumlah korban tsunami tersebut, sekitar 160.000an orang dinyatakan
tewas dalam bencana tersebut, sementara di wilayah Simeule yang tentu saja
‘lebih dekat’ dengan sumber gempa, jumlah korban dari terjangan tsunami tidak
begitu besar, yaitu berjumlah 7 orang.
Bagaimana
bisa suatu wilayah yang sekiranya lebih dekat dengan sumber bencana memiliki
jumlah korban yang berbeda jauh dengan jumlah korban di daratan besar Sumatera?
Salah satu jawabannya selain karena kehendak Yang Maha Kuasa, di masyarakat
Simeule terdapat sebuah kearifan lokal yang mampu menjadi sebuah peringatan
dini dalam mengantisipasi bencana tsunami yang datang. Kearifan lokal tersebut
merupakan suatu bentuk pembelajaran sejarah yang pernah di alami oleh msyarakat
Simeule pada masa lalu, apakah itu? Dan bentuk kearifan lokal seperti apa yang
mampu menjadi peringatan dini tersebut?
Yappp,,,
jika merunut ke peristiwa masa lalu, tepatnya pada tahun 1907, terjadi
peristiwa gelombang besar yang menghantam pulau Simeule dan menyebebkan jumlah
korban jiwa yang diperkirakan cukup banyak. Pada saat itu, sebelum terjadi
gelombang tsunami, terjadi gempa dan air laut tiba-tiba surut. Melihat surutnya
air laut dan tampak ikan-ikan mudah untuk ditangkap, akhirnya menyebabkan
masyarakat pergi ke laut untuk menangkapnya, namun tak disangka tak lama
kemudian datanglah tsunami dan masyrakat yang sedang menangkapi ikanpun tidak
memiliki waktu yang banyak untuk menghindari terjangan tsunami tersebut.
Berdasarkan pengalaman tersebut, masyarakat yang selamat dari kejadian itu
akhirnya mengisahkan itu lewat lagu pengatar tidur bagi anak2 yang disebut
sebagai SMONG, berikut petikan dari lagu tersebut:
Enggel
mon sao curito…(Dengarlah sebuah cerita)
Inang
maso semonan…(Pada zaman dahulu)
Manoknop
sao fano…(Tenggelam satu desa)
Uwi
lah da sesewan…(Begitulah mereka ceritakan)
Unen
ne alek linon…(Diawali oleh gempa)
Fesang
bakat ne mali…(Disusul ombak yang besar sekali)
Manoknop
sao hampong…(Tenggelam seluruh negeri)
Tibo-tibo
mawi…(Tiba-tiba saja)
Anga
linon ne mali…(Jika gempanya kuat)
Uwek
suruik sahuli…(Disusul air yang surut)
Maheya
mihawali…(Segeralah cari)
Fano
me singa tenggi…(Tempat kalian yang lebih tinggi)
Ede
smong kahanne…(Itulah smong namanya)
Turiang
da nenekta…(Sejarah nenek moyang kita)
Miredem
teher ere…(Ingatlah ini betul-betul)
Pesan
dan navi da…(Pesan dan nasihatnya).
NB : summary dari berbagai sumber