sumber : internet
Malaysia Truly Asia adalah sebuah slogan pariwisata nasional dari negara malaysia yang cukup unik dan menggelitik bagi sebagian orang di Indonesia dan juga saya. Kenapa kacang? (wai nat? why nut? why not? skip it --) kenapa begitu? Sepertinya Indonesia yang lebih cocok menyandangnya, karena potensi pariwisata Indonesia sangat berlimpah, baik yang buatan, yang dibuat-buat, bahkan yang memang sudah alam sediakan dengan begitu indah dan baik. Namun, tahukan teman-teman bahwa ada makna yang cukup "greget" di balik slogan tersebut, yaitu suatu bentuk penyatuan rasa nasionalisme dari bangsa Malaysia untuk dapat bersama-sama menjadi bagian dari membangun negara dan bangsa. Kita ketahui bahwa ras besar yang mendiami Malaysia pascamerdeka adalah Melayu, India, dan Cina, di mana Melayu mendominasi beberapa kebijakan negara tersebut sehingga rasa diskriminasi tidak dapat terhindarkan, salah satunya adalah Kebijakan Ekonomi Baru.
Beberapa tahun belakangan, Pemerintah Malaysia sudah mulai "membuka" diri untuk show up akan bangsanya yang besar dan solid lewat bidang pariwisata. Hal tersebut dapat secara jelas di lihat dalam jurnal yang dipublikasikan jstor : http://www.jstor.org/stable/23654383?Search=yes&resultItemClick=true&searchText=negotiating&searchText=in&searchText=malaysia&searchUri=%2Faction%2FdoBasicSearch%3FQuery%3Dnegotiating%2Bin%2Bmalaysia%26amp%3Bprq%3Dnegotiating%2Bin%2Bmlaysia%26amp%3Bgroup%3Dnone%26amp%3Bfc%3Doff%26amp%3Bwc%3Don%26amp%3Bhp%3D25%26amp%3Bacc%3Doff%26amp%3Bso%3Drel&seq=1#page_scan_tab_contents
dan berikut hasil review saya terhadap jurnal tersebut :D
NEGOSIASI
IDENTITAS DI MALAYSIA :
MASYARAKAT
MULTI-KULTURAL, ISLAM, TEATER DAN PARIWISATA
Malaysia
adalah sebuah negara yang terbentuk melalui proses kolonialisasi yang berkembang
dari negeri Melayu muslim. Pada abad ke-15 Kesultanan Malaka yang karakternya berbahasa
Melayu dan beragama Islam merupakan kota yang kosmopolitan dan toleran terhadap
agama. Sejak tahun 1511, Kesultanan Malaka jatuh ke tangan kekuasaaan kolonial
barat. Akan tetapi, kolonial mengakui kesultanan sebagai sebuah politik Melayu
Muslim. Di mana perjanjian dan pesetujuan ditandatangani Inggris dengan mereka.
Pada abad ke 19, imigran dari Cina dan India dibawa
masuk ke Malaya oleh Inggris untuk tujuan perekomian kolonial. Hal ini mengubah
demografi kolonial, dan melemahkan posisi orang Melayu yang kebanyakan sebagai
petani desa. Orang Cina terpusat di kota-kota terbuka dan daerah pertambangan
timah, orang India di perkebunan karet, sedangkan Melayu asli tetap di
pedesaan. Akan tetapi, pada masa kolonial Inggris hanya Melayu yang diakui
sebagai warga negara dan kesultanan menjadi simbol kedaulatan mereka. Kemudian,
pada tahun 1948 dilakukan perjanjian Federasi Malaya, Inggris menegaskan
kembali kerajaan dan juga masyarakat Melayu sebagai warga negara dari negara
kolonial. Federasi sengaja dirancang untuk menjadi sebuah negara bangsa, negara
yang diracang disekitar etnik inti. Di mana definisi kebangsaan/identitas dari
negara bangsa adalah bangsa Melayu.
Ketika
kemerdekaan dicapai tahun 1957, konstitusi dari federasi Malaya memberikan
kewarganegaraan bagi imigran Cina dan India. Sejalan dengan visi para pendiri
bangsa, federasi baru konstitusi Melayu mengakui satu kebangsaan Melayu untuk semua kelompok etnik. Bagi
orang Melayu, ini pengorbanan besar, karena harus berbagi lahan mereka dengan
komunitas Cina dan India. Orang Melayu hanya sebatas komunitas dalam suatu
negara multi etnik, multi kultural, dan multi agama. Mereka harus menghadapi
identitas baru, dengan kesediaan untuk menerima dan menampung ras imigran,
namun ada konsesi yang mengakui posisi menentukan mereka. Inti dari konsesi
adalah posisi sultan sebagai simbol kepala kerajaan, bahasa Melayu sebagai
bahasa nasional dan resmi, Islam sebagai agama resmi negara, dan bantuan sosial
ekonomi khusus dan kesempatan untuk orang-orang Melayu.
Konsesi
tersebut menimbulkan ketidak senangan dari orang Cina dan India. Sama halnya
dengan meereka, ada orang Melayu yang marah dengan pengorbanan yang dilakukan
para pemimpin politik mereka di United
Malays National Organization (UMNO). Akan tetapi, para pemimpin ini
bersedia untuk mengakomodasi non-Melayu karena paham liberal mereka, termasuk
pandangan dan fakta bahwa mereka telah menjalin hubungan dengan elite Cina dan India.
Namun, sebenarnya telah ada sesuatu dalam sistem nilai Melayu yang memfasilitasi
proses ini, yang memungkinkan massa untuk menerima dan mengakomodasi non Melayu.
Sistem nilai ini yang termasuk sikap postif terhadap “yang lain’, diajarkan
oleh Islam.
Ketika Malaysia
dibentuk tahun 1963, ada ketidakseimbangan pembangunan ekonomi diantara orang Melayu
dan non-Melayu. Menyusul kerusuhan etnis pada 13 Mei 1969, ada upaya serius
untuk meralat ketidakseimbangan tersebut. Pada tahun 1971, kebijakan kebudayaan
nasional diperkenalkan. Di mana kebudayaan nasional Malaysia akan menjadi
sebuah penggabungan elemen-elemen budaya dari berbagai kelompok etnik, dengan unsur asli Melayu-Islam sebagai inti, dan
lagi-lagi terdapat keluhan dari non Melayu. Pada awal tahun 1990an, Perdana
Menteri Mahatir Muhammad menganjurkan konsep yang disebut Bangsa Malaysia. Hal itu menunjuk pada warga negara yang
mengidentifikasi mereka sendiri dengan negara, berbicara bahasa Malaysia, dan
menerima konstitusi. Konsep tersebut untuk menegosiasikan antara perbedaan
etnik dan kedudukan sebagai negara merdeka dengan tujuan akhir pembentukan
kesatuan Bangsa Malaysia dan
mengembangkan identitas nasional.
Pembahasan
akan negosiasi identitas tidak hanya dapat dilihat dari segi sejarah dan
politik, tetapi juga dari sastra/teater. Pandangan tersebut akan didasarkan
pada tiga karya dari sutradara teater dan dramawan terkenal Noordin Hassan.
Karya-karya ini adalah "Bukan Lalang Ditiup Angin" (1970), "Anak
Tanjung" (1987), dan "Mana Setangginya?" (2000).
Drama
berjudul "Bukan Lalang Ditiup Angin" berhubungan dengan masalah
sosial ekonomi dari kelompok petani tertindas di desa mereka serta inefisiensi
kepemimpinan desa dalam mengatasi masalah. Dua masalah terkait yang dimunculkan
adalah perbedaan antara yang miskin dan kaya, dan sikap apatis dari masyarakat
miskin itu sendiri terhadap kehidupan. Drama ini ditulis dan dipentaskan
setelah insiden 13 Mei, ditafsirkan sebagai sorotan kesenjangan ekonomi antara Melayu
dan Cina di Malaysia pada tahun 1960 serta inefisiensi pemerintah dalam
menyelesaikan masalah ini. Pesan politik dari drama cukup jelas, yaitu jika
pemerintah tidak mengatasi masalah dengan cepat dan efisien, dan jika orang Melayu
tetap apatis, bencana akan menimpa negeri ini. hal tersebut juga dapat
ditafsirkan dari judul drama itu sendiri. Judul drama didasarkan pada perkataan
Melayu, "Bunyi berdentum kusangka
hujan, rupanya lalang ditiup angin". Tetapi, Noordin secara kreatif
mengubahnya menjadi "Bunyi berdentum
memanglah hujan, bukannya lalang ditiup angin" dengan sederhana ia
mengartikan bahwa apa yang terjadi adalah bencana yang nyata dan tidak boleh
dianggap enteng.
Karya
berikutnya adalah “Anak Tanjung”. Beberapa isu terkait dibangkitkan dalam drama
ini, yang diatur dalam setting kolonial dan kontemporer, termasuk perjuangan
kemerdekaan dan kerjasama antar etnis. Di sini, Noordin sadar profil
keharmonisan ras dan ikatan yang kuat antara Melayu dan Cina. Dalam drama ini,
diceritakan mengenai keluarga Cina yang tinggal harmonis di sebuah desa nelayan
Melayu selama periode kolonial Inggris dan pendudukan Jepang, di mana terdapat
tokoh Hamzah, Ah Heng, Sapura, Mak Su, Ah Ean, yang selalu tolong menolong,
bahkan mereka saling menganggap keluarga satu sama lain. Noordin menyajikan
pandangan positif dari masyarakat multi-etnis Malaysia. Ini adalah negara
multi-etnis dengan nasib yang sama dan identitas bersama. Hamzah, Ah Heng,
Sapura, Mak Su, Ah Ean dan karakter lain dalam cerita mencerminkan kurang lebih
Bangsa Malaysia yang banyak
diinginkan sebelum istilah itu bahkan dikemukakan oleh Mahathir pada tahun 1991.
Yang terakhir
adalah drama "Mana Setangginya?". Cerita ini adalah konflik dari dua
kelompok yang saling bertentangan dengan setting di zaman kuno dan mitos,
dengan latar belakang Alkitab, Hindu dan Islam semua menyatu menjadi satu.
Unsur Yahudi-Kristen dilihat sebagai cerita terungkap. Pertama, ada karakter
yang menonjol dengan nama yang berasal dari Alkitab. Lalu, ada episode mengenai
pengkhianatan Yudas Iskariot serta kisah menyedihkan dari Maria Magdalena. Elemen
Hindu yang hadir diwakili oleh karakter perempuan Mira (Mira Bai, penyair
terkenal mistik Hindu) dan dewa Krishna. Mira sangat akrab dengan ajaran
Rabi'ah (Rabi'at al-Adawiyah, mistik Islam dirayakan dan penyair). Meskipun
"Mana Setangginya?" diatur di masa, drama tersebut berisi pesan moral
dan sosial yang kuat dan kritik yang bersifat universal di alam dan tidak
terbatas waktu atau tempat tertentu. Drama tersebutpun sebenarnya tidak
memiliki referensi eksplisit ke Malaysia, namun Malaysia dengan semua latar
belakang agamanya dapat melihat bayang-bayang mereka bersama di dalamnya.
Kemudian,
masalah negosiasi identitas dapat terlihat dari segi pariwisata. Melalui kebijakan
pariwisata dan kegiatan promosi, pihak berwenang dapat menciptakan identitas Malaysia
yang diinginkan. Sebelum tahun 1990-an, otoritas pariwisata Malaysia memiliki
konsentrasi pada gagasan identitas yang berkaitan erat lebih ke Melayu daripada
kelompok etnis lain. Sejak tahun 1990-an, terjadi pergeseran yang signifikan
dalam kebijakan dan promosi, bertepatan dengan pembentukan Departemen
Kebudayaan, Seni dan Pariwisata pada tahun 1987. Sejak itu, pariwisata fokus
pada multi-etnis dan multi budaya Malaysia. Festival Melayu-Islam, Hari Raya
Aidilfitri, Tahun Baru Cina, dan Hindu, Deepavali, juga telah dipromosikan
secara luas. Pergeseran dan keterbukaan baru memiliki banyak hubungannya dengan
pengenalan konsep Bangsa Malaysia,
juga globalisasi telah meningkatkan keinginan pada pariwisata internasional dan
nasional, serta adanya peningkatan peran swasta dalam promosi kegiatan pariwisata.
Dalam konteks keterbukaan budaya dan
identitas, kampanye iklan internasional terbaru oleh Departemen Kebudayaan dan
Pariwisata, yang disebut "Malaysia, Truly Asia", yang menentukan. Hal
ini dianggap representasi ideal dari "keberbedaan budaya" karena
menciptakan dan jelas menggambarkan bangsa multi-etnis dan multi-agama, dan
dengan warisan budaya dan alam yang kaya. Hal tersebut tidak hanya menunjukan
satu kebudayaan bagi wisatawan yang akan datang, tapi tiga budaya Asia yang
besar - Cina, India dan Melayu. Dengan kata lain, iklan menanamkan bahwa jika
seseorang ingin “merasakan” Asia, cukuplah hanya pergi ke Malaysia; dengan
demikian, slogan, "Malaysia, Truly Asia" menjadi gambaran persatuan
dalam keberagaman. Mereka tidak bisa melarikan diri melihat gambaran mereka
sendiri serta aspirasi dari negara mereka di dalamnya. Dengan demikian, iklan
akhirnya menginspirasi mereka dalam menegaskan identitas Malaysia dan dalam
cetakan kesatuan Bangsa Malaysia.