Selasa, 26 Juli 2016

Malaysia a Truly Asia (?)

sumber : internet

Malaysia Truly Asia adalah sebuah slogan pariwisata nasional dari negara malaysia yang cukup unik dan menggelitik bagi sebagian orang di Indonesia dan juga saya. Kenapa kacang? (wai nat? why nut? why not? skip it --) kenapa begitu? Sepertinya Indonesia yang lebih cocok menyandangnya, karena potensi pariwisata Indonesia sangat berlimpah, baik yang buatan, yang dibuat-buat, bahkan yang memang sudah alam sediakan dengan begitu indah dan baik. Namun, tahukan teman-teman bahwa ada makna yang cukup "greget" di balik slogan tersebut, yaitu suatu bentuk penyatuan rasa nasionalisme dari bangsa Malaysia untuk dapat bersama-sama menjadi bagian dari membangun negara dan bangsa. Kita ketahui bahwa ras besar yang mendiami Malaysia pascamerdeka adalah Melayu, India, dan Cina, di mana Melayu mendominasi beberapa kebijakan negara tersebut sehingga rasa diskriminasi tidak dapat terhindarkan, salah satunya adalah Kebijakan Ekonomi Baru.
Beberapa tahun belakangan, Pemerintah Malaysia sudah mulai "membuka" diri untuk show up akan bangsanya yang besar dan solid lewat bidang pariwisata. Hal tersebut dapat secara jelas di lihat dalam jurnal yang dipublikasikan jstor : http://www.jstor.org/stable/23654383?Search=yes&resultItemClick=true&searchText=negotiating&searchText=in&searchText=malaysia&searchUri=%2Faction%2FdoBasicSearch%3FQuery%3Dnegotiating%2Bin%2Bmalaysia%26amp%3Bprq%3Dnegotiating%2Bin%2Bmlaysia%26amp%3Bgroup%3Dnone%26amp%3Bfc%3Doff%26amp%3Bwc%3Don%26amp%3Bhp%3D25%26amp%3Bacc%3Doff%26amp%3Bso%3Drel&seq=1#page_scan_tab_contents

dan berikut hasil review saya terhadap jurnal tersebut :D



NEGOSIASI IDENTITAS DI MALAYSIA :
MASYARAKAT MULTI-KULTURAL, ISLAM, TEATER DAN PARIWISATA


Malaysia adalah sebuah negara yang terbentuk melalui proses kolonialisasi yang berkembang dari negeri Melayu muslim. Pada abad ke-15 Kesultanan Malaka yang karakternya berbahasa Melayu dan beragama Islam merupakan kota yang kosmopolitan dan toleran terhadap agama. Sejak tahun 1511, Kesultanan Malaka jatuh ke tangan kekuasaaan kolonial barat. Akan tetapi, kolonial mengakui kesultanan sebagai sebuah politik Melayu Muslim. Di mana perjanjian dan pesetujuan ditandatangani Inggris dengan mereka.
Pada abad ke 19, imigran dari Cina dan India dibawa masuk ke Malaya oleh Inggris untuk tujuan perekomian kolonial. Hal ini mengubah demografi kolonial, dan melemahkan posisi orang Melayu yang kebanyakan sebagai petani desa. Orang Cina terpusat di kota-kota terbuka dan daerah pertambangan timah, orang India di perkebunan karet, sedangkan Melayu asli tetap di pedesaan. Akan tetapi, pada masa kolonial Inggris hanya Melayu yang diakui sebagai warga negara dan kesultanan menjadi simbol kedaulatan mereka. Kemudian, pada tahun 1948 dilakukan perjanjian Federasi Malaya, Inggris menegaskan kembali kerajaan dan juga masyarakat Melayu sebagai warga negara dari negara kolonial. Federasi sengaja dirancang untuk menjadi sebuah negara bangsa, negara yang diracang disekitar etnik inti. Di mana definisi kebangsaan/identitas dari negara bangsa adalah bangsa Melayu.
Ketika kemerdekaan dicapai tahun 1957, konstitusi dari federasi Malaya memberikan kewarganegaraan bagi imigran Cina dan India. Sejalan dengan visi para pendiri bangsa, federasi baru konstitusi Melayu mengakui satu kebangsaan Melayu untuk semua kelompok etnik. Bagi orang Melayu, ini pengorbanan besar, karena harus berbagi lahan mereka dengan komunitas Cina dan India. Orang Melayu hanya sebatas komunitas dalam suatu negara multi etnik, multi kultural, dan multi agama. Mereka harus menghadapi identitas baru, dengan kesediaan untuk menerima dan menampung ras imigran, namun ada konsesi yang mengakui posisi menentukan mereka. Inti dari konsesi adalah posisi sultan sebagai simbol kepala kerajaan, bahasa Melayu sebagai bahasa nasional dan resmi, Islam sebagai agama resmi negara, dan bantuan sosial ekonomi khusus dan kesempatan untuk orang-orang Melayu.
Konsesi tersebut menimbulkan ketidak senangan dari orang Cina dan India. Sama halnya dengan meereka, ada orang Melayu yang marah dengan pengorbanan yang dilakukan para pemimpin politik mereka di United Malays National Organization (UMNO). Akan tetapi, para pemimpin ini bersedia untuk mengakomodasi non-Melayu karena paham liberal mereka, termasuk pandangan dan fakta bahwa mereka telah menjalin hubungan dengan elite Cina dan India. Namun, sebenarnya telah ada sesuatu dalam sistem nilai Melayu yang memfasilitasi proses ini, yang memungkinkan massa untuk menerima dan mengakomodasi non Melayu. Sistem nilai ini yang termasuk sikap postif terhadap “yang lain’, diajarkan oleh Islam.
Ketika Malaysia dibentuk tahun 1963, ada ketidakseimbangan pembangunan ekonomi diantara orang Melayu dan non-Melayu. Menyusul kerusuhan etnis pada 13 Mei 1969, ada upaya serius untuk meralat ketidakseimbangan tersebut. Pada tahun 1971, kebijakan kebudayaan nasional diperkenalkan. Di mana kebudayaan nasional Malaysia akan menjadi sebuah penggabungan elemen-elemen budaya dari berbagai kelompok etnik, dengan  unsur asli Melayu-Islam sebagai inti, dan lagi-lagi terdapat keluhan dari non Melayu. Pada awal tahun 1990an, Perdana Menteri Mahatir Muhammad menganjurkan konsep yang disebut Bangsa Malaysia. Hal itu menunjuk pada warga negara yang mengidentifikasi mereka sendiri dengan negara, berbicara bahasa Malaysia, dan menerima konstitusi. Konsep tersebut untuk menegosiasikan antara perbedaan etnik dan kedudukan sebagai negara merdeka dengan tujuan akhir pembentukan kesatuan Bangsa Malaysia dan mengembangkan identitas nasional.
Pembahasan akan negosiasi identitas tidak hanya dapat dilihat dari segi sejarah dan politik, tetapi juga dari sastra/teater. Pandangan tersebut akan didasarkan pada tiga karya dari sutradara teater dan dramawan terkenal Noordin Hassan. Karya-karya ini adalah "Bukan Lalang Ditiup Angin" (1970), "Anak Tanjung" (1987), dan "Mana Setangginya?" (2000).
Drama berjudul "Bukan Lalang Ditiup Angin" berhubungan dengan masalah sosial ekonomi dari kelompok petani tertindas di desa mereka serta inefisiensi kepemimpinan desa dalam mengatasi masalah. Dua masalah terkait yang dimunculkan adalah perbedaan antara yang miskin dan kaya, dan sikap apatis dari masyarakat miskin itu sendiri terhadap kehidupan. Drama ini ditulis dan dipentaskan setelah insiden 13 Mei, ditafsirkan sebagai sorotan kesenjangan ekonomi antara Melayu dan Cina di Malaysia pada tahun 1960 serta inefisiensi pemerintah dalam menyelesaikan masalah ini. Pesan politik dari drama cukup jelas, yaitu jika pemerintah tidak mengatasi masalah dengan cepat dan efisien, dan jika orang Melayu tetap apatis, bencana akan menimpa negeri ini. hal tersebut juga dapat ditafsirkan dari judul drama itu sendiri. Judul drama didasarkan pada perkataan Melayu, "Bunyi berdentum kusangka hujan, rupanya lalang ditiup angin". Tetapi, Noordin secara kreatif mengubahnya menjadi "Bunyi berdentum memanglah hujan, bukannya lalang ditiup angin" dengan sederhana ia mengartikan bahwa apa yang terjadi adalah bencana yang nyata dan tidak boleh dianggap enteng.
Karya berikutnya adalah “Anak Tanjung”. Beberapa isu terkait dibangkitkan dalam drama ini, yang diatur dalam setting kolonial dan kontemporer, termasuk perjuangan kemerdekaan dan kerjasama antar etnis. Di sini, Noordin sadar profil keharmonisan ras dan ikatan yang kuat antara Melayu dan Cina. Dalam drama ini, diceritakan mengenai keluarga Cina yang tinggal harmonis di sebuah desa nelayan Melayu selama periode kolonial Inggris dan pendudukan Jepang, di mana terdapat tokoh Hamzah, Ah Heng, Sapura, Mak Su, Ah Ean, yang selalu tolong menolong, bahkan mereka saling menganggap keluarga satu sama lain. Noordin menyajikan pandangan positif dari masyarakat multi-etnis Malaysia. Ini adalah negara multi-etnis dengan nasib yang sama dan identitas bersama. Hamzah, Ah Heng, Sapura, Mak Su, Ah Ean dan karakter lain dalam cerita mencerminkan kurang lebih Bangsa Malaysia yang banyak diinginkan sebelum istilah itu bahkan dikemukakan oleh Mahathir pada tahun 1991.
Yang terakhir adalah drama "Mana Setangginya?". Cerita ini adalah konflik dari dua kelompok yang saling bertentangan dengan setting di zaman kuno dan mitos, dengan latar belakang Alkitab, Hindu dan Islam semua menyatu menjadi satu. Unsur Yahudi-Kristen dilihat sebagai cerita terungkap. Pertama, ada karakter yang menonjol dengan nama yang berasal dari Alkitab. Lalu, ada episode mengenai pengkhianatan Yudas Iskariot serta kisah menyedihkan dari Maria Magdalena. Elemen Hindu yang hadir diwakili oleh karakter perempuan Mira (Mira Bai, penyair terkenal mistik Hindu) dan dewa Krishna. Mira sangat akrab dengan ajaran Rabi'ah (Rabi'at al-Adawiyah, mistik Islam dirayakan dan penyair). Meskipun "Mana Setangginya?" diatur di masa, drama tersebut berisi pesan moral dan sosial yang kuat dan kritik yang bersifat universal di alam dan tidak terbatas waktu atau tempat tertentu. Drama tersebutpun sebenarnya tidak memiliki referensi eksplisit ke Malaysia, namun Malaysia dengan semua latar belakang agamanya dapat melihat bayang-bayang mereka bersama di dalamnya.
Kemudian, masalah negosiasi identitas dapat terlihat dari segi pariwisata. Melalui kebijakan pariwisata dan kegiatan promosi, pihak berwenang dapat menciptakan identitas Malaysia yang diinginkan. Sebelum tahun 1990-an, otoritas pariwisata Malaysia memiliki konsentrasi pada gagasan identitas yang berkaitan erat lebih ke Melayu daripada kelompok etnis lain. Sejak tahun 1990-an, terjadi pergeseran yang signifikan dalam kebijakan dan promosi, bertepatan dengan pembentukan Departemen Kebudayaan, Seni dan Pariwisata pada tahun 1987. Sejak itu, pariwisata fokus pada multi-etnis dan multi budaya Malaysia. Festival Melayu-Islam, Hari Raya Aidilfitri, Tahun Baru Cina, dan Hindu, Deepavali, juga telah dipromosikan secara luas. Pergeseran dan keterbukaan baru memiliki banyak hubungannya dengan pengenalan konsep Bangsa Malaysia, juga globalisasi telah meningkatkan keinginan pada pariwisata internasional dan nasional, serta adanya peningkatan peran swasta dalam promosi kegiatan pariwisata.
 Dalam konteks keterbukaan budaya dan identitas, kampanye iklan internasional terbaru oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, yang disebut "Malaysia, Truly Asia", yang menentukan. Hal ini dianggap representasi ideal dari "keberbedaan budaya" karena menciptakan dan jelas menggambarkan bangsa multi-etnis dan multi-agama, dan dengan warisan budaya dan alam yang kaya. Hal tersebut tidak hanya menunjukan satu kebudayaan bagi wisatawan yang akan datang, tapi tiga budaya Asia yang besar - Cina, India dan Melayu. Dengan kata lain, iklan menanamkan bahwa jika seseorang ingin “merasakan” Asia, cukuplah hanya pergi ke Malaysia; dengan demikian, slogan, "Malaysia, Truly Asia" menjadi gambaran persatuan dalam keberagaman. Mereka tidak bisa melarikan diri melihat gambaran mereka sendiri serta aspirasi dari negara mereka di dalamnya. Dengan demikian, iklan akhirnya menginspirasi mereka dalam menegaskan identitas Malaysia dan dalam cetakan kesatuan Bangsa Malaysia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar