Rabu, 31 Agustus 2016

Face of Researcher? Perjalanan Penelitian di Sarangtiung, Kalimantan Selatan






Angin berhembus ke wilayah pesisir pantai, suara ombak silih berganti menerjang pantai pasir putih dan dan kapal-kapal bersandar tak tergoyahkan di setiap rumah-rumah nelayan. Suatu suasana yang saya rasakan ketika pertama kali melakukan penelitian bersama teman, riski, di desa sarang tiung, kabupaten kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan, pada tanggal 21 Agustus 2015.
Research Camp 2015, dengan mengusung tema tentang kemaritiman Indonesia dan kami para researcher dari KSM Eka Prasetya UI 2015 melakukan penelitian ke wilayah Kalimantan Selatan, Khusunya desa sarang tiung, Kabupaten Kotabaru, karena digadang-gadang menjadi poros maritimnya indonesia bahkan dunia. Perjalanan dari Jakarta ke Desa Sarang Tiung , Kotabaru ini memakan waktu sekitar satu hari satu malam sehingga saya yang berangkat dari Jakarta pada hari jumat pukul 14.00 wib sampai ke desa sarang tiung sekitar pukul 06.00 pagi keesokan harinya.
Penelitian ini terdiri dari para researcher yang datang dengan dua gelombang kedatangan. Pertama, yang datang pada tanggal 18 agustus, salah satuya riski. Kedua, yang datang pada tanggal 21 Agustus 2015, salah satunya saya. Kegiatan research camp ini berlangsung sampai tanggal 27 agustus 2015. Saya yang hanya memiliki sisa waktu sekitar satu minggu, harus segera membantu teman saya terjun lapangan dalam penelitian kami mengenai Faktor Alih Profesi. Maka, setelah saya sampai desa sarang tiung sekitar pukul 06.00 WITA pagi tersebut, tiga jam kemudian, sekitar pukul 10.00  saya langsung pergi mencari objek penelitian.
Hanya berdua dengan riski, kami melakukan penelusuran rt-rt yang ada di desa sarang tiung. Seperti wilayah-wilayah pantai lainnya, matahari begitu terik dan udara begitu panas sehingga kami seringkali pergi ke warung –warung yang berada di sepanjang jalur pencarian objek penlitia untuk sekedar membeli minum, istirahat maupun bertanya. Sebagai seorang peneliti, tentu kami membawa kuisioner-kuisioner sebgai bahan isian objek penlitain, yaitu masyarakat yang dahulunya nelayan tetapi sekarang tidak lagi. Kuisioner-kisioner ini saya bawa dengan menggunakan map dan saya pegang selama perjalanan mencari objek penelitian. Perlu diingat, kami mencari objek penelitian dengan berjalan kaki belasan kilometer dari tempat kami tinggal. Wajah-wajah polos kami yang baru di desa sarang tiung menyebabkan banyak menimbulkan spekulasi masyarakat akan kedatangan kami, selain menjadi seorang peneliti, spekulasi yang muncul adalah sebagai penjual bahkan peminta sumbangan.
Seperti berikut kejadiannya ……..
Lelah menempuh kiloan meter bahkan belasan kilo meter perjalanan darat menggunakan sepasang kaki yang beralaskan sandal jepit, kami menghampiri sebuah warung warga untuk membeli minum. Sebelum tiba pada warung tersebut,  tiba-tiba terlihatlah suatu objek di etalase warung yang dikenal teman saya, riski, sebagai bedak yang selama ini dicari-carinya, yaitu bedak merk XXX. Senang dengan hal tersebut teman saya langsung menghampiri warung tersebut, tetapi ibu warungnya tidak ada ditempat. Stelah sekian menit menunggu adalah ibu pemilik warung dipinggir didepan rumahnya (pinggir warung-red). Sontak teman sayapun berkata pada ibu tersebut bahwa dia ingin membeli bedak merk XXX, namun bukannya mendapat jawaban yang diharapkan, ibunya malah menjawab bahwa dia tidak ingin membeli bedak XXX, katanya dia tidak menjual bedak tersebut di warungnya. Kamipun bingung. Beberapa detik dalam kehenngan lalu kamipun menyadari bahwa ibu warung ini menganggap bahwa kami ingin menjual bedak merk XXX pada warungnya, dan ibu ini tidak ingin membelinya. Maka teman sayapun menjelaskan kembali bahwa dia ingin membeli bedak merk XXX yang ada di etalase warung ibu tersebut sambil menunjuk benda yang dibicarakan, ibu warung tersebutpun akhirnya paham bahwa kami bukanlah sales bedak. Patut juga diingat bahwa ketika kami datang dan bilang ingin membeli bedak, wajah ibu tersebut “kurang ramah” namun setelah tahu bahwa kami pembeli maka raut wajahnya berubah. Haha. Setelah suasana mencair (serah terima antara bedak merk XXX dengan sejumlah rupiah-red), ibu inipun menceritakan bahwa banyak wajah-wajah baru yang datang merupakan sales yang kadang-kadang menawarkan barang-barang dagangan pada warungnya, sehingga dia sudah terbiasa untuk segera menolaknya.
Dan cerita tersebutpun berakhir, kami pamit untuk melanjutkan perjalanan setelah sebelumnya bertanya pada ibu tersebut mengenai rt-rt mana saja yang banyak masyarakatnya beralih profesi.
Namun, penderitaan sebgai wajah baru di desa sarang tiung ini belum berakhir. Sekitar pukul 16.00 WITA, sore hari yang begitu cerah, cobaan kembali menerpa kami. Di RT. 07 tepatnya kejadian ini berlangsung. Setealah mengunjungi rumah bapak RT 07 dan mendaptkan beberapa rekomendasi akan siapa-siapa saj yang beralih profesi, mulailah kami bergerilya pada rumah-rumah yang dimaksud. Ada dua ruamh yang membuat sore kami menjadi lengkap sudah sebagai wajah baru yang menimbulkan spekulasi negaif.
Dua rumah bertetangga yang berapa pada pinggir jalan, jalan raya satu-satunya yang menjadi suatu akses menuju desa sarang tiung. Kami menyebrangi jalan tersebut dari rumah pak rt ke dua rumah yan dimaksud. Sebenarnya ada tiga rumah yng kami kunjungi setelah rumah pak RT, tetapi pengalaman dari dua rumah sajalah yang membuat cerita perjalanan kami sangat unik. Rumah yang pertama kami kunjungi biasa saja, rumah kedua yang kami kunjungi disambut oleh ibu pemilik rumah yang raut wjahnya sudah terlihat curiga dnegan kedtangan kami yang menenteng map. “ mau apa?” tanya ibu tersebut pada kami, kami menjawab bahwa kami ingin bertemu bapak, lalu ibu tersebut bilang bahwa bapaknya tidak ada dan sedang bekerja, lalu ibu tersebut pun kembali bertanya dengan penuh selidik “mengapa mencari bapak”, lalu kami jelaskan blablabla, lalu ibunya bertanya lagi “kenapa nama bapak ada di list kalian? Mengapa pak rt ngasih nama bapak?” duuhhh kami yang sudah tidak enak ditanya-tanya dengn curiga oleh ibu tersebut kembai menjelaskan maksud kami dan kenapa pak rt memberikan nama bapak tersebut serta kami jelaskan pula bahwa tidak hanya nama bapak tersebut pula yang dkasih oleh pak rt kepada kami. Setelah iu tersbut “terbuka” mata dan hatinya maka diapun berhenti curiga, karena urusan kami tidak ada lagi maka kamipun pamit dari rumaht ersebut. Dan mulailah kami mengunjungi rumah ketiga, yaitu tetangga rumah kedua.
Tok, tok, tok, kami mengetuk pintu yang sebenarnya terbuka dan kami melihat anak kecil yang sendag menontont television. “assalamualaikum, dek permisi, bapaknya ada?” kami mengucapkan salam dan bertanya. Anak kecil tersebut langusng menengok ke kami dan pergi ke dalam rumahnya yang lain, yang kami pastikan bahwa dia sedang memanggil ibunya atau bapaknya. Tidak lama kemudian, muncullah ibunya dari dalam rumah tidak berkerudung, HANYA muncul, melihat kami dan kembali ke kamar atau apalah itu. Kami menunggu dan berfikir bahwa ibunya sendang memakai kerudung dan akan kembali menhampir kami, tetapi yang terjadi adalah anak kecil tadi yang muncul dngan senyum-senyum pada kami. Saya jujur saja tidak ‘ngeh’ akan apa yang terjadi, tiba-tiba teman saya bilang “kak yuk kita pulang” dan berkata pada anak kecil tadi “ dek kita pulang aja kalau bapaknya tidak ada di rumah”. Tenu saja saya bingun, kenapa pula teman saya ini tidak menunggu ibunya keluar kamar, toh seberapa lama soh memakai kerudung?. Tetapi teman saya malah ketawa dan bertanya “ kakak tidak liahtkah apa yang dibawa oleh anak kecil tadi?”, “tidak” saya menjawab dngan masih bingung. “kak, ibu tadi tidak akan keluar lagi, karena dia menyuruh anaknya untuk memberikan uang pada kita, anaknya tadi bawa uang 2000 rupiah, aku yakin ibunya mengira bahwa kita adalah peminta sumbangan” , “Ohhh” lalu saya pun mulai tertawa dan paham mengapa ibunya tidak kembali-kembali setelah melihat kami dan hanya menyuruh anaknya yang masih kecil untuk menemui kami,,, yahhh meskipun telat paham akan situasi tersebut, saya pun tidak ambil hati.
Keadaan langitpun mulai meredup, kami yang sudah lelah menempuh perjalanan jauh tersebut akhirnya harus mengakhiri pencarian objek penlitian kami hari ini, hari pertama yang berkesan untuk saya kenang. Perlu diingat kembali (sudak ketiga kalinya, haha) bahwa selama seharian itu kami mendapat beberapa objek penelitian dan kami pulang kembali hanya menggunakan kedua kaki kami yang hanya beralaskan sandal jepit, untungnya sandal jepit baru.
Dann cerita hari ini selesai,, tetapi cerita esok haripun lebih seru karena kami bertemu dan mewawancarai para “bos” nelayan setempat yang rumahnya paling bagus sendiri diantara rumah-rumah lain… tapi itu next story yaaaa ^^v

#maaf apabila ada kata-kata yang menyinggung atau gimanaaa gitu
#maaf bahasanya gak baku
#maaf ceritanya ngaler ngidul
#maaf narasinya acak-acakan
#maaf kalo ini nyepam
#maaf penulisannya belum gue edit lagi, besar kecil miring titik koma
#ngantukkkk
#makasih udah dibaca, wkwkwk


LOVE YOU, ALL COMITTES OF ISRS 2015
Without you, I m nothing :*

Selasa, 26 Juli 2016

Malaysia a Truly Asia (?)

sumber : internet

Malaysia Truly Asia adalah sebuah slogan pariwisata nasional dari negara malaysia yang cukup unik dan menggelitik bagi sebagian orang di Indonesia dan juga saya. Kenapa kacang? (wai nat? why nut? why not? skip it --) kenapa begitu? Sepertinya Indonesia yang lebih cocok menyandangnya, karena potensi pariwisata Indonesia sangat berlimpah, baik yang buatan, yang dibuat-buat, bahkan yang memang sudah alam sediakan dengan begitu indah dan baik. Namun, tahukan teman-teman bahwa ada makna yang cukup "greget" di balik slogan tersebut, yaitu suatu bentuk penyatuan rasa nasionalisme dari bangsa Malaysia untuk dapat bersama-sama menjadi bagian dari membangun negara dan bangsa. Kita ketahui bahwa ras besar yang mendiami Malaysia pascamerdeka adalah Melayu, India, dan Cina, di mana Melayu mendominasi beberapa kebijakan negara tersebut sehingga rasa diskriminasi tidak dapat terhindarkan, salah satunya adalah Kebijakan Ekonomi Baru.
Beberapa tahun belakangan, Pemerintah Malaysia sudah mulai "membuka" diri untuk show up akan bangsanya yang besar dan solid lewat bidang pariwisata. Hal tersebut dapat secara jelas di lihat dalam jurnal yang dipublikasikan jstor : http://www.jstor.org/stable/23654383?Search=yes&resultItemClick=true&searchText=negotiating&searchText=in&searchText=malaysia&searchUri=%2Faction%2FdoBasicSearch%3FQuery%3Dnegotiating%2Bin%2Bmalaysia%26amp%3Bprq%3Dnegotiating%2Bin%2Bmlaysia%26amp%3Bgroup%3Dnone%26amp%3Bfc%3Doff%26amp%3Bwc%3Don%26amp%3Bhp%3D25%26amp%3Bacc%3Doff%26amp%3Bso%3Drel&seq=1#page_scan_tab_contents

dan berikut hasil review saya terhadap jurnal tersebut :D



NEGOSIASI IDENTITAS DI MALAYSIA :
MASYARAKAT MULTI-KULTURAL, ISLAM, TEATER DAN PARIWISATA


Malaysia adalah sebuah negara yang terbentuk melalui proses kolonialisasi yang berkembang dari negeri Melayu muslim. Pada abad ke-15 Kesultanan Malaka yang karakternya berbahasa Melayu dan beragama Islam merupakan kota yang kosmopolitan dan toleran terhadap agama. Sejak tahun 1511, Kesultanan Malaka jatuh ke tangan kekuasaaan kolonial barat. Akan tetapi, kolonial mengakui kesultanan sebagai sebuah politik Melayu Muslim. Di mana perjanjian dan pesetujuan ditandatangani Inggris dengan mereka.
Pada abad ke 19, imigran dari Cina dan India dibawa masuk ke Malaya oleh Inggris untuk tujuan perekomian kolonial. Hal ini mengubah demografi kolonial, dan melemahkan posisi orang Melayu yang kebanyakan sebagai petani desa. Orang Cina terpusat di kota-kota terbuka dan daerah pertambangan timah, orang India di perkebunan karet, sedangkan Melayu asli tetap di pedesaan. Akan tetapi, pada masa kolonial Inggris hanya Melayu yang diakui sebagai warga negara dan kesultanan menjadi simbol kedaulatan mereka. Kemudian, pada tahun 1948 dilakukan perjanjian Federasi Malaya, Inggris menegaskan kembali kerajaan dan juga masyarakat Melayu sebagai warga negara dari negara kolonial. Federasi sengaja dirancang untuk menjadi sebuah negara bangsa, negara yang diracang disekitar etnik inti. Di mana definisi kebangsaan/identitas dari negara bangsa adalah bangsa Melayu.
Ketika kemerdekaan dicapai tahun 1957, konstitusi dari federasi Malaya memberikan kewarganegaraan bagi imigran Cina dan India. Sejalan dengan visi para pendiri bangsa, federasi baru konstitusi Melayu mengakui satu kebangsaan Melayu untuk semua kelompok etnik. Bagi orang Melayu, ini pengorbanan besar, karena harus berbagi lahan mereka dengan komunitas Cina dan India. Orang Melayu hanya sebatas komunitas dalam suatu negara multi etnik, multi kultural, dan multi agama. Mereka harus menghadapi identitas baru, dengan kesediaan untuk menerima dan menampung ras imigran, namun ada konsesi yang mengakui posisi menentukan mereka. Inti dari konsesi adalah posisi sultan sebagai simbol kepala kerajaan, bahasa Melayu sebagai bahasa nasional dan resmi, Islam sebagai agama resmi negara, dan bantuan sosial ekonomi khusus dan kesempatan untuk orang-orang Melayu.
Konsesi tersebut menimbulkan ketidak senangan dari orang Cina dan India. Sama halnya dengan meereka, ada orang Melayu yang marah dengan pengorbanan yang dilakukan para pemimpin politik mereka di United Malays National Organization (UMNO). Akan tetapi, para pemimpin ini bersedia untuk mengakomodasi non-Melayu karena paham liberal mereka, termasuk pandangan dan fakta bahwa mereka telah menjalin hubungan dengan elite Cina dan India. Namun, sebenarnya telah ada sesuatu dalam sistem nilai Melayu yang memfasilitasi proses ini, yang memungkinkan massa untuk menerima dan mengakomodasi non Melayu. Sistem nilai ini yang termasuk sikap postif terhadap “yang lain’, diajarkan oleh Islam.
Ketika Malaysia dibentuk tahun 1963, ada ketidakseimbangan pembangunan ekonomi diantara orang Melayu dan non-Melayu. Menyusul kerusuhan etnis pada 13 Mei 1969, ada upaya serius untuk meralat ketidakseimbangan tersebut. Pada tahun 1971, kebijakan kebudayaan nasional diperkenalkan. Di mana kebudayaan nasional Malaysia akan menjadi sebuah penggabungan elemen-elemen budaya dari berbagai kelompok etnik, dengan  unsur asli Melayu-Islam sebagai inti, dan lagi-lagi terdapat keluhan dari non Melayu. Pada awal tahun 1990an, Perdana Menteri Mahatir Muhammad menganjurkan konsep yang disebut Bangsa Malaysia. Hal itu menunjuk pada warga negara yang mengidentifikasi mereka sendiri dengan negara, berbicara bahasa Malaysia, dan menerima konstitusi. Konsep tersebut untuk menegosiasikan antara perbedaan etnik dan kedudukan sebagai negara merdeka dengan tujuan akhir pembentukan kesatuan Bangsa Malaysia dan mengembangkan identitas nasional.
Pembahasan akan negosiasi identitas tidak hanya dapat dilihat dari segi sejarah dan politik, tetapi juga dari sastra/teater. Pandangan tersebut akan didasarkan pada tiga karya dari sutradara teater dan dramawan terkenal Noordin Hassan. Karya-karya ini adalah "Bukan Lalang Ditiup Angin" (1970), "Anak Tanjung" (1987), dan "Mana Setangginya?" (2000).
Drama berjudul "Bukan Lalang Ditiup Angin" berhubungan dengan masalah sosial ekonomi dari kelompok petani tertindas di desa mereka serta inefisiensi kepemimpinan desa dalam mengatasi masalah. Dua masalah terkait yang dimunculkan adalah perbedaan antara yang miskin dan kaya, dan sikap apatis dari masyarakat miskin itu sendiri terhadap kehidupan. Drama ini ditulis dan dipentaskan setelah insiden 13 Mei, ditafsirkan sebagai sorotan kesenjangan ekonomi antara Melayu dan Cina di Malaysia pada tahun 1960 serta inefisiensi pemerintah dalam menyelesaikan masalah ini. Pesan politik dari drama cukup jelas, yaitu jika pemerintah tidak mengatasi masalah dengan cepat dan efisien, dan jika orang Melayu tetap apatis, bencana akan menimpa negeri ini. hal tersebut juga dapat ditafsirkan dari judul drama itu sendiri. Judul drama didasarkan pada perkataan Melayu, "Bunyi berdentum kusangka hujan, rupanya lalang ditiup angin". Tetapi, Noordin secara kreatif mengubahnya menjadi "Bunyi berdentum memanglah hujan, bukannya lalang ditiup angin" dengan sederhana ia mengartikan bahwa apa yang terjadi adalah bencana yang nyata dan tidak boleh dianggap enteng.
Karya berikutnya adalah “Anak Tanjung”. Beberapa isu terkait dibangkitkan dalam drama ini, yang diatur dalam setting kolonial dan kontemporer, termasuk perjuangan kemerdekaan dan kerjasama antar etnis. Di sini, Noordin sadar profil keharmonisan ras dan ikatan yang kuat antara Melayu dan Cina. Dalam drama ini, diceritakan mengenai keluarga Cina yang tinggal harmonis di sebuah desa nelayan Melayu selama periode kolonial Inggris dan pendudukan Jepang, di mana terdapat tokoh Hamzah, Ah Heng, Sapura, Mak Su, Ah Ean, yang selalu tolong menolong, bahkan mereka saling menganggap keluarga satu sama lain. Noordin menyajikan pandangan positif dari masyarakat multi-etnis Malaysia. Ini adalah negara multi-etnis dengan nasib yang sama dan identitas bersama. Hamzah, Ah Heng, Sapura, Mak Su, Ah Ean dan karakter lain dalam cerita mencerminkan kurang lebih Bangsa Malaysia yang banyak diinginkan sebelum istilah itu bahkan dikemukakan oleh Mahathir pada tahun 1991.
Yang terakhir adalah drama "Mana Setangginya?". Cerita ini adalah konflik dari dua kelompok yang saling bertentangan dengan setting di zaman kuno dan mitos, dengan latar belakang Alkitab, Hindu dan Islam semua menyatu menjadi satu. Unsur Yahudi-Kristen dilihat sebagai cerita terungkap. Pertama, ada karakter yang menonjol dengan nama yang berasal dari Alkitab. Lalu, ada episode mengenai pengkhianatan Yudas Iskariot serta kisah menyedihkan dari Maria Magdalena. Elemen Hindu yang hadir diwakili oleh karakter perempuan Mira (Mira Bai, penyair terkenal mistik Hindu) dan dewa Krishna. Mira sangat akrab dengan ajaran Rabi'ah (Rabi'at al-Adawiyah, mistik Islam dirayakan dan penyair). Meskipun "Mana Setangginya?" diatur di masa, drama tersebut berisi pesan moral dan sosial yang kuat dan kritik yang bersifat universal di alam dan tidak terbatas waktu atau tempat tertentu. Drama tersebutpun sebenarnya tidak memiliki referensi eksplisit ke Malaysia, namun Malaysia dengan semua latar belakang agamanya dapat melihat bayang-bayang mereka bersama di dalamnya.
Kemudian, masalah negosiasi identitas dapat terlihat dari segi pariwisata. Melalui kebijakan pariwisata dan kegiatan promosi, pihak berwenang dapat menciptakan identitas Malaysia yang diinginkan. Sebelum tahun 1990-an, otoritas pariwisata Malaysia memiliki konsentrasi pada gagasan identitas yang berkaitan erat lebih ke Melayu daripada kelompok etnis lain. Sejak tahun 1990-an, terjadi pergeseran yang signifikan dalam kebijakan dan promosi, bertepatan dengan pembentukan Departemen Kebudayaan, Seni dan Pariwisata pada tahun 1987. Sejak itu, pariwisata fokus pada multi-etnis dan multi budaya Malaysia. Festival Melayu-Islam, Hari Raya Aidilfitri, Tahun Baru Cina, dan Hindu, Deepavali, juga telah dipromosikan secara luas. Pergeseran dan keterbukaan baru memiliki banyak hubungannya dengan pengenalan konsep Bangsa Malaysia, juga globalisasi telah meningkatkan keinginan pada pariwisata internasional dan nasional, serta adanya peningkatan peran swasta dalam promosi kegiatan pariwisata.
 Dalam konteks keterbukaan budaya dan identitas, kampanye iklan internasional terbaru oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, yang disebut "Malaysia, Truly Asia", yang menentukan. Hal ini dianggap representasi ideal dari "keberbedaan budaya" karena menciptakan dan jelas menggambarkan bangsa multi-etnis dan multi-agama, dan dengan warisan budaya dan alam yang kaya. Hal tersebut tidak hanya menunjukan satu kebudayaan bagi wisatawan yang akan datang, tapi tiga budaya Asia yang besar - Cina, India dan Melayu. Dengan kata lain, iklan menanamkan bahwa jika seseorang ingin “merasakan” Asia, cukuplah hanya pergi ke Malaysia; dengan demikian, slogan, "Malaysia, Truly Asia" menjadi gambaran persatuan dalam keberagaman. Mereka tidak bisa melarikan diri melihat gambaran mereka sendiri serta aspirasi dari negara mereka di dalamnya. Dengan demikian, iklan akhirnya menginspirasi mereka dalam menegaskan identitas Malaysia dan dalam cetakan kesatuan Bangsa Malaysia.

Jumat, 10 Juni 2016

HAPPY IS EASY



woohooo akhirnyaa esai kita diterbitin barenggg,, seneng dehhh,, apalagi judulnya mirip-mirip gitu cuma beda bahasan,hehe,,

kebangkitan mental bangsa Indonesia

http://www.koran-sindo.com/news.php?r=1&n=5&date=2016-06-10

tadaaaa,,, ini tulisan pertama ditahun 2016,, sudah lama tidak menulis ke poros mahasiswa, 
ada dua alasan yang mendorong untuk menulis esai ini
1. mendapat pencerahan dari dosen pas beres uas dan presentasi terakhir. 
2. tugas dari organisasi karena pada waktu itu bagian divisi gue yang harus ngirim




berangkat dari mata kuliah sejarah ekonomi indonesia, di mana dosennya tidak hanya memberikan ilmu pengetahuan yang dimaksudkan untuk mata kuliah ini, akan tetapi juga memberikan semacam ‘ESQ’ dalam setiap pengajarannya, beliau selalu menyelipkan kata-kata bijak nan bermakna disetiap kuliah sehingga pada saat selesai UAS, satu kelompok terakhir presentasi mengenai Ekonomi Benteng, menjadi salah satu momen dalam penulisan esai ini.  

Bukan sudut pandang ekonomi yang kemudian mengena dari inti dari bahasan presentasi ini, akan tetapi bagaimana mental bangsa pribumi yang diharapkan dapat tumbuh dan berkembang menjadi pengusaha menengah untuk membangun perekonomian indonesia seperti yang diharapkan oleh soemitro tidak dapat begitu saja terwujud hanya dengan pemberian fasilitas oleh negara.

Mental dibangun dalam waktu yang lama, Amerika tahun 1776 lewat declaration of independencenya, Perancis  tahun 1789 lewat Revolusi Prancisnya , Jepang tahun 1866 lewat Restorasi Mejinya, dan Indonesia kuranglah tepat apabila memulai revolusi mentalya sejak prolamasi 17 agustus 1945 (menurut saya #padahal belum sarjana apalagi profesor.wkwkw), tetapi telah bermula benih-benihnya sejak 1908, ketika sebuah organisasi mulai peduli dengan pendidikan masyarakat pribumi, sebagai salah satu bentuk perubahan perjuangan dan bentuk pembangunan mental baru