Map of Pondok Pinang in 1970
sumber : ANRI (don't copy please. kalo perlu datang ke anri yaa buat yang aslinya :) )
Pondok
pinang adalah salah satu kelurahan yang ada di Jakarta Selatan. Wilayah tersebut
berbatasan dengan sungai Sodetan, dan kelurahan Kebayoran Lama Selatan di
sebelah utara. Sebelah timur berbatasan dengan kali Grogol, kelurahan Gandaria
Selatan dan kelurahan Cilandak Barat/kecamatan Cilandak. Sebelah selatan
berbatasan dengan jalan Pasar Jumat/kelurahan Lebak Bulus. Sebelah barat
berbatasan dengan kali Pesanggrahan/ kecamatan Pesanggrahan. Pondok pinangpun merupakan
tempat dengan permukiman elite terbesar di wilayah Jakarta selatan yang
dibangun pada tahun 1970-an, Pondok Indah.
Di
wilayah sekitaran Jakarta cukup banyak nama wilayah yang serupa, selain pondok
pinang sebut saja terdapat wilayah Pondok Cabe, Pondok Labu, Pondok Cina,
Pondok Aren, Pondok Gede, Pondok Rangon, Pondok Bambu. Persamaan dari
kesemuanya adalah kata pondok. Jika begitu apa pengertian dari pondok itu
sendiri?
Merujuk
pada hasil penelitian seorang sejarawan Australia, Lea Jellinek, dengan jurnalnya
yang berjudul The Pondok of Jakarta
atau bukunya yang berjudul Seperti Roda
berputar : perubahan sosial sebuah kampung di Jakarta, pondok adalah sebuah tempat tinggal
bagi pedagang-pedagang yang berasal dari wilayah luar Jakarta (migran traders), biasanya
mereka masih dari desa/wilayah yang sama. Tempat tersebut hanya
seluas 6 meter persegi dengan penghuni bisa mencapai 10 sampai 40 orang
sehingga dengan jelas menggambarkan suasana sesak dari tempat tinggal tersebut.
Tidak hanya itu, pondok juga
merupakan tempat tinggal sementara bagi para pedagang tersebut, karena
pondok-pondok itu adalah tempat yang disewakan oleh para tauke[1] untuk para
pedagang yang kadang pulang kampung.
Sebelum
Lea Jellinek menyebutkan makna pondok tersebut pada tahun 1970-an, 30 tahun
sebelumnya, sekitar tahun 1940-an terdapat seorang yang memberikan makna dari
pondok itu sendiri, terutama menyangkut Pondok Pinang, yaitu Soemanang. Menurut
Soemanang, mendasarkan pada ‘wawancara’ dengan para orang tua di sana, asal usul
dari penamaan pondok (Pondok Pinang) adalah dikarenakan para pengumpul pinang yang
membawa hasilnya untuk diperdagangkan ke Batavia Pusat (Batavia Centrum) kadang terhambat di tengah perjalanan karena jalan
yang digunakan untuk ke Batavia rusak oleh hujan sehingga para pengumpul
tersebut akhirnya membentuk sebuah tempat peristirahatan dan penginapan untuk
sementara waktu, yang kemudian disebut pondok. Tidak hanya itu, asal usul[2]
Pondok Pinang juga awalnya berarti sebuah tempat di mana para pengumpul pinang
biasa mengawasi pinangnya.
Sebelum pertengahan
tahun 70-an, wilayah Pondok Pinang dapat dikatakan masih bersifat bersifat rural settlement,[3]
yaitu wilayahnya masih bersifat desa, dibandingkan Kebayoran Baru yang sudah
dikembangkan pemerintah sejak tahun 1948 menjadi wilayah permukiman dengan
sarana dan prasarana. Wilayah kelurahan Pondok Pinang merupakan hamparan
dataran rendah yang memiliki ketinggian kurang lebih 12 meter di atas permukaan
laut, yang terbagi menjadi 2
bagian karena terpisah oleh jalan raya Ciputat, yaitu kampung Pondok
Pinang bagian barat dan kampung Pondok Pinang bagian timur.
Keadaan wilayah
Pondok Pinang tidak jauh berbeda dengan keadaan Pasar Minggu, yaitu suatu
wilayah yang asri
dan terdapat kebun buah-buahan,[4]
sebagian besar ditanami dengan tanaman nanas dan jeruk, serta perkebunan karet. Kemudian terdapat juga
sawah-sawah yang diusahakan oleh masyarakat, yang tidak saja ditanami dengan
padi tapi juga palawija. [5]
Rawa-rawa juga dapat di temukan di wilayah Pondok Pinang, malah menurut masyarakat Pondok Pinang mereka juga
membuat empang-empang ikan.
Status
tanah di Pondok Pinang awalnya terdiri dari beberapa kepemilikan, terutama pada
masa kolonial Belanda terdapat tuan-tuan tanah yang menguasai lahan yang besar.[6]
Setelah kemerdekaan, status tanahnya mulai mengalami perubahan kepemilikan. Tanah yang awalnya adalah milik tuan
tanah dengan hak eigendom verponding
menjadi tanah milik negara.[7]
Sebelum dikeluarkannya UU No. 1 Tahun 1958,[8]
tercatat ada 9 pemegang hak eigendom
di Pondok Pinang.
[1] Jellinek
menjelaskan bahwa tauke adalah orang
yang berperan layaknya “boss” bagi para pedagang, dan juga menjadi pemilik dari
tempat tinggal dan alat-alat perdagangan para penghuni pondok. dalam Lea Jellinek, The
Pondok Of Jakarta, hlm. 1
[2] Asal-usul mengenai nama
Pondok Pinangpun memiliki versi yang berbeda di masyarakat Pondok Pinang. Versi
lain masyarakat menyatakan bahwa dahulu nama wilayah Pondok Pinang hanyalah
sebatas kata pondok. Namun ketika muncul perampok dari luar wilayah pondok dan
membuat masyarakat resah, datanglah perantau dari Demak, Jawa Tengah, yang
bernama Raden Pandoman Mas Parnyoto yang kemudian mampu menundukan perampok
tersebut dan menang. Penambahan kata pinang yang dimaksud pun merupakan asal
kata “menang” atau kemenangan Raden Pandoman terhadap perampok tersebut, dalam
Mohamad Soerjani, 1981, Ekologi Budaya
Kota Jakarta (Kasus Adaptasi Sumberdaya di Pondok Pinang), Jakarta : Pusat
Penelitian Sumberdaya Manusia dan Lingkungan Universitas Indonesia, hlm. 13.
[3] Koentjaraningrat, 1973,
Village Life South Of Jakarta : Brief
report of a Comparative Study on Village Life Around Capital Cities of
Southeast Asia, paper discussion untuk The Center for Southeast Asia
Studies, hlm. 2.
[4] R. M. Soemanang, Op.Cit.,
hlm. 5.
Kebayoran dan
Pasar Minggu adalah daerah pinggiran kota Jakarta yang diliputi oleh sawah,
ladang, dan kebun. Wilayahnya terkenal juga sebagai hutan buah-buahan, dalam
Lasmijah Hardi, dkk, “ Jakarta-ku, Jakarta-mu, Jakarta kita, (Jakarta :
Pemerintah Daerah Jakarta, 1987), hlm. 100.
[5] R. M. Soemanang, Op. Cit.,
hlm. 12.
[6] Pada tahun 1940 di wilayah
Pondok Pinang tercatat bahwa tanah seluas 43,207 ha adalah eigendomground, dalam R. M Soemanang, De Imheemsche Meubelnijverheid in Pondok Pinang, (Batavia : G.
Kolff & Batavia.C, 1940), hlm.11.
[7] Hak
eigendom merupakan salah satu hak-hak atas tanah pada masa kolonial yang diatur
dalam Burgelijk Wetboek. Hak eigendom adalah hak untuk dengan bebas
mempergunakan suatu benda (dalam hal ini tanah)sepenuhnya dan untuk menguasai
seluas-luasnya, selama tidak bertentangan dengan undang-undangn atau
peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh sebuah instansi yang berhak
menetapkannya, serta tidak mengganggu hak-hak orang lain, dalam Hendro S.H.,
M.H, Kekuatan Pembuktian Tanah Eigendom
Veronding Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran
Tanah, (Tesis pada Fakultas Hukum UI), hlm.13.
[8] Berdasarkan Undang-Undang
No. 1 Tahun 1958 tentang penghapusan tanah-tanah patikelir, tanah eigendom
dengan luas lebih dari 10 bau yang menjadi milik seseorang atau suatu badan
hukum atau milik bersama dari beberapa orang atau beberapa badan hukum
diperlakukan sebagai tanah partikelir, dalam Adrian Sutedi, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum dalam
Pengadaan Tanah untuk Pembangunan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2007), hlm.
299.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar