Selasa, 05 Desember 2017

DE IMHEEMSCHE MEUBELNIJVERHEID IN PONDOK PINANG : the beginning

Map of Pondok Pinang in 1970
sumber : ANRI (don't copy please. kalo perlu datang ke anri yaa buat yang aslinya :) )

Pondok pinang adalah salah satu kelurahan yang ada di Jakarta Selatan. Wilayah tersebut berbatasan dengan sungai Sodetan, dan kelurahan Kebayoran Lama Selatan di sebelah utara. Sebelah timur berbatasan dengan kali Grogol, kelurahan Gandaria Selatan dan kelurahan Cilandak Barat/kecamatan Cilandak. Sebelah selatan berbatasan dengan jalan Pasar Jumat/kelurahan Lebak Bulus. Sebelah barat berbatasan dengan kali Pesanggrahan/ kecamatan Pesanggrahan. Pondok pinangpun merupakan tempat dengan permukiman elite terbesar di wilayah Jakarta selatan yang dibangun pada tahun 1970-an, Pondok Indah.

Di wilayah sekitaran Jakarta cukup banyak nama wilayah yang serupa, selain pondok pinang sebut saja terdapat wilayah Pondok Cabe, Pondok Labu, Pondok Cina, Pondok Aren, Pondok Gede, Pondok Rangon, Pondok Bambu. Persamaan dari kesemuanya adalah kata pondok. Jika begitu apa pengertian dari pondok itu sendiri?

Merujuk pada hasil penelitian seorang sejarawan Australia, Lea Jellinek, dengan jurnalnya yang berjudul The Pondok of Jakarta atau bukunya yang berjudul Seperti Roda berputar : perubahan sosial sebuah kampung di Jakarta, pondok adalah sebuah tempat tinggal bagi pedagang-pedagang yang berasal dari wilayah luar Jakarta (migran traders), biasanya mereka masih dari desa/wilayah yang sama. Tempat tersebut hanya seluas 6 meter persegi dengan penghuni bisa mencapai 10 sampai 40 orang sehingga dengan jelas menggambarkan suasana sesak dari tempat tinggal tersebut. Tidak hanya itu, pondok juga merupakan tempat tinggal sementara bagi para pedagang tersebut, karena pondok-pondok itu adalah tempat yang disewakan oleh para tauke[1] untuk para pedagang yang kadang pulang kampung.

Sebelum Lea Jellinek menyebutkan makna pondok tersebut pada tahun 1970-an, 30 tahun sebelumnya, sekitar tahun 1940-an terdapat seorang yang memberikan makna dari pondok itu sendiri, terutama menyangkut Pondok Pinang, yaitu Soemanang. Menurut Soemanang, mendasarkan pada ‘wawancara’ dengan para orang tua di sana, asal usul dari penamaan pondok (Pondok Pinang) adalah dikarenakan para pengumpul pinang yang membawa hasilnya untuk diperdagangkan ke Batavia Pusat (Batavia Centrum) kadang terhambat di tengah perjalanan karena jalan yang digunakan untuk ke Batavia rusak oleh hujan sehingga para pengumpul tersebut akhirnya membentuk sebuah tempat peristirahatan dan penginapan untuk sementara waktu, yang kemudian disebut pondok. Tidak hanya itu, asal usul[2] Pondok Pinang juga awalnya berarti sebuah tempat di mana para pengumpul pinang biasa mengawasi pinangnya.

Sebelum pertengahan tahun 70-an, wilayah Pondok Pinang dapat dikatakan masih bersifat bersifat rural settlement,[3] yaitu wilayahnya masih bersifat desa, dibandingkan Kebayoran Baru yang sudah dikembangkan pemerintah sejak tahun 1948 menjadi wilayah permukiman dengan sarana dan prasarana. Wilayah kelurahan Pondok Pinang merupakan hamparan dataran rendah yang memiliki ketinggian kurang lebih 12 meter di atas permukaan laut, yang terbagi menjadi 2 bagian karena terpisah oleh jalan raya Ciputat, yaitu kampung Pondok Pinang bagian barat dan kampung Pondok Pinang bagian timur.

Keadaan wilayah Pondok Pinang tidak jauh berbeda dengan keadaan Pasar Minggu, yaitu suatu wilayah yang asri dan terdapat kebun buah-buahan,[4] sebagian besar ditanami dengan tanaman nanas dan jeruk, serta  perkebunan karet. Kemudian terdapat juga sawah-sawah yang diusahakan oleh masyarakat, yang tidak saja ditanami dengan padi tapi juga palawija. [5] Rawa-rawa juga dapat di temukan di wilayah Pondok Pinang, malah menurut masyarakat Pondok Pinang mereka juga membuat empang-empang ikan.

Status tanah di Pondok Pinang awalnya terdiri dari beberapa kepemilikan, terutama pada masa kolonial Belanda terdapat tuan-tuan tanah yang menguasai lahan yang besar.[6] Setelah kemerdekaan, status tanahnya mulai mengalami perubahan kepemilikan. Tanah yang awalnya adalah milik tuan tanah dengan hak eigendom verponding menjadi tanah milik negara.[7] Sebelum dikeluarkannya UU No. 1 Tahun 1958,[8] tercatat ada 9 pemegang hak eigendom di Pondok Pinang.



[1] Jellinek menjelaskan bahwa tauke adalah orang yang berperan layaknya “boss” bagi para pedagang, dan juga menjadi pemilik dari tempat tinggal dan alat-alat perdagangan para penghuni pondok. dalam Lea Jellinek, The Pondok Of Jakarta, hlm. 1
[2] Asal-usul mengenai nama Pondok Pinangpun memiliki versi yang berbeda di masyarakat Pondok Pinang. Versi lain masyarakat menyatakan bahwa dahulu nama wilayah Pondok Pinang hanyalah sebatas kata pondok. Namun ketika muncul perampok dari luar wilayah pondok dan membuat masyarakat resah, datanglah perantau dari Demak, Jawa Tengah, yang bernama Raden Pandoman Mas Parnyoto yang kemudian mampu menundukan perampok tersebut dan menang. Penambahan kata pinang yang dimaksud pun merupakan asal kata “menang” atau kemenangan Raden Pandoman terhadap perampok tersebut, dalam Mohamad Soerjani, 1981, Ekologi Budaya Kota Jakarta (Kasus Adaptasi Sumberdaya di Pondok Pinang), Jakarta : Pusat Penelitian Sumberdaya Manusia dan Lingkungan Universitas Indonesia, hlm. 13.
[3] Koentjaraningrat, 1973, Village Life South Of Jakarta : Brief report of a Comparative Study on Village Life Around Capital Cities of Southeast Asia, paper discussion untuk The Center for Southeast Asia Studies, hlm. 2.
[4] R. M. Soemanang, Op.Cit., hlm. 5.
Kebayoran dan Pasar Minggu adalah daerah pinggiran kota Jakarta yang diliputi oleh sawah, ladang, dan kebun. Wilayahnya terkenal juga sebagai hutan buah-buahan, dalam Lasmijah Hardi, dkk, “ Jakarta-ku, Jakarta-mu, Jakarta kita, (Jakarta : Pemerintah Daerah Jakarta, 1987), hlm. 100.
[5] R. M. Soemanang, Op. Cit., hlm. 12.
[6] Pada tahun 1940 di wilayah Pondok Pinang tercatat bahwa tanah seluas 43,207 ha adalah eigendomground, dalam R. M Soemanang, De Imheemsche Meubelnijverheid in Pondok Pinang, (Batavia : G. Kolff & Batavia.C, 1940), hlm.11.
[7] Hak eigendom merupakan salah satu hak-hak atas tanah pada masa kolonial yang diatur dalam Burgelijk Wetboek. Hak eigendom adalah hak untuk dengan bebas mempergunakan suatu benda (dalam hal ini tanah)sepenuhnya dan untuk menguasai seluas-luasnya, selama tidak bertentangan dengan undang-undangn atau peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh sebuah instansi yang berhak menetapkannya, serta tidak mengganggu hak-hak orang lain, dalam Hendro S.H., M.H, Kekuatan Pembuktian Tanah Eigendom Veronding Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, (Tesis pada Fakultas Hukum UI), hlm.13.
[8] Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1958 tentang penghapusan tanah-tanah patikelir, tanah eigendom dengan luas lebih dari 10 bau yang menjadi milik seseorang atau suatu badan hukum atau milik bersama dari beberapa orang atau beberapa badan hukum diperlakukan sebagai tanah partikelir, dalam Adrian Sutedi, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum dalam Pengadaan Tanah untuk Pembangunan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2007), hlm. 299.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar