Rabu, 18 Januari 2017

DOKTIN MONROE : DARI POLITIK ISOLASI HINGGA PERANG DUNIA PERTAMA (1823-1917)



ilustrasi dari kebijakan doktrin Monroe
sumber : internet (kalo ga valid so sorry,,hehe)

 
Latar Belakang
Perang dunia kedua yang dimulai pada tahun 1939 hingga berakhir pada tahun 1945 memunculkan peran besar Amerika dalam kancah internasional. Amerika menjadi pemenang perang dunia kedua dan menjadi satu-satunya kekuatan besar di dunia pasca berakhirnya perang dingin tahun 1991 sehingga tidak heran apabila hegemoni negara tersebut terhadap negara-negara lain begitu mencengkram bahkan Amerika sibuk terlibat dalam berbagai urusan negara lain. Namun, sebelum menjadi negara adidaya dan terlibat dalam mencampuri urusan negara lain seperti saat ini, Amerika pernah menjalani politik isolasi dari negara-negara luar yang menyatakan bahwa negara tersebut tidak ikut campur urusan negara lain dan tidak ingin pula urusannya dicampuri oleh negara lain. Hal tersebut terjadi salah satu faktornya adalah karena munculnya Doktrin Monroe tahun 1823.
Doktrin Monroe merupakan suatu pernyataan yang dilontarkan oleh Presiden Amerika ke-5 (1817-1825), James Monroe, dalam pidato tahunannya di depan Kongres. Isi pidato dari Monroe ialah mengenai penolakan Amerika terhadap negara-negara Eropa dalam melakukan perluasan wilayah dan dominasi di benua Amerika. Doktrin Monroe ini dilatarbelakangi oleh gejolak revolusi di negeri-negeri Amerika Tengah dan Amerika Selatan yang ingin memerdekakan diri dari cengkraman bangsa Eropa, dan atas desakan publik Amerika, Amerikapun mengakui kemerdekaan negara-negara Latin. Secara implisit, Doktrin Monroe menyatakan bahwa America for the Americans sehingga sejak bergulirnya doktrin tersebut, Amerika fokus membangun negerinya dan  bersifat netral terhadap urusan yang terjadi di Benua Eropa. Hal tersebut memperlihatkan dijalankannya politik isolasi Amerika terhadap dunia luar dan dengan demikian menjadikannya sebagai politik luar negeri Amerika.
Politik isolasi yang dimaksud tentu bukan menutup diri dari setiap hubungan internasional dengan negara-negara lain, isolasi yang dijalankan oleh Amerika adalah sebuah kenetralan akan masalah yang dihadapi oleh negara-negara Eropa yang sedang berkonflik serta tidak memihak blok manapun, baik Aliansi Suci maupun Sekutu. Kebijakan tersebut selain mengacu pada doktrin Monroe juga mengacu pada ucapan Washington dalam pidato perpisahannya pada tanggal 17 September 1796 yang menguraikan dasar-dasar politik luar negeri Amerika dengan pengertian tidak mengajukan pendapat dalam masalah Eropa. [1]
Ketika bayang-bayang perang dunia pertama muncul di hadapan Amerika, Doktrin Monroe dan politik isolasi tersebut tentu tidak dapat pula dipertahankan selamanya. Kedaulatan Amerika mulai mengalami ancaman serius sebagai dampak dari perang tersebut sehingga diperlukan tindakan untuk mengatasinya. Di tahun 1917 Amerika serikat bergabung dengan Perancis dan Inggris untuk melawan Jerman yang mengancam kemerdekaan kedua negara tersebut. Masih di bawah sikap mempertahankan kenetralan, Amerika masuk dalam perang dunia pertama hanya sebatas  “penengah”, meskipun hal tersebut menyalahi doktrin Monroe. Perang yang dimaksudkan oleh Amerika tentu sebagai bentuk menjaga demokrasi tetap berjalan, dunia aman dan damai serta sebagai bentuk penghentian perang (war end war).
Dengan demikian, Doktrin Monroe yang dilontarkan tahun 1823 mengalami perubahan orientasi yang disesuaikan dengan situasi yang dihadapi oleh Amerika dan  juga masyarakatnya.


Pengaruh Doktrin Monroe terhadap Politik Isolasi Amerika
Amerika Serikat (The United States Of America) mendeklarasikan kemerdekaannya dari Inggris pada tanggal 4 Juli 1776 setelah melalui serangkain perang dan perjuangan. Pengalamannya sebagai daerah koloni dari bangsa Eropa yang pindah ke benua baru untuk kehidupan yang lebih baik, baik dari segi politik, ekonomi, sosial budaya dan juga kehidupan beragama, menjadikan negara ini menjunjung tinggi nilai liberalisme dan demokrasi sebagai dasar negara. Sebagai negara yang menjungjung tinggi demokrasi dan libelarisme, Amerika juga harus menghormati hak merdeka bangsa lain yang juga ingin lepas dari kungkungan bangsa Eropa. Doktrin Monroe menjadi salah satu jawaban dari bentuk demokrasi Amerika terhadap dunia internasional pada saat itu.
Doktrin tersebut muncul dilatarbelakangi oleh gerakan revolusi dari Amerika tengah dan selatan pada dekade awal abad ke-19.  Ketika para koloni Inggris mendapatkan kebebasannya dan menjadi negara merdeka seutuhnya, gagasan tersebut juga memberikan pengaruh pada rakyat Amerika Latin. Penaklukan Napoleon atas Spanyol dan Portugal pada 1808 menjadi pertanda bagi rakyat Amerika Latin untuk mengadakan pemberontakan. Menjelang 1822, dipimpin dengan cakap oleh Simon Bolivar, Francisco Miranda, Jose de San Martin dan Miguel de Hidalgo, sebagian besar Amerika Hispanik–dari Argentina dan Chili di selatan hingga Meksiko di utara–memenangkan kemerdekaan mereka. Rakyat Amerika Serikat melihatnya sebagai sebuah pengulangan pengalaman mereka sendiri dalam memisahkan diri dari bawah kekuasaan Eropa. Gerakan kemerdekaan Amerika Latin mempertegas keyakinan rakyat Amerika terhadap pemerintahan otonomi. Maka, dengan tekanan dari publik, Presiden James Monroe pada 1822 menerima wewenang untuk mengakui negara Amerika Latin baru dan menegaskan status mereka sebagai negara merdeka yang sesungguhnya, sepenuhnya terpisah dari ikatan lama mereka dengan Eropa, layaknya negara Amerika Serikat.[2].
James Monroe dalam pidato tahunannya di depan Kongres pada tanggal 2 Desember 1823 menyampaikan apa yang kemudian dikenal sebagai doktrin Monroe- suatu penolakan toleransi terhadap dominasi lebih lanjut Eropa di benua Amerika. Pernyataan James Monroe mengekspresikan akan dua keadaan khusus yang terjadi pada saat itu. Pertama, dia takut akan rencana Rusia untuk mendirikan koloni di pantai barat. Kedua dia takut akan rencana bangsa-bangsa Eropa untuk mengembalikan koloni-koloni Spanyol di Amerika Latin yang memberontak dan menyatakan kemerdekaannya. Tentu saja Amerika menentang hal tersebut.[3] Amerika sangat khawatir karena Amerika Latin telah menjadi mitra perdagangan yang sangat penting pada saat itu.  
Doktin Monroe merupakan manifestasi politik status quo yang mempunyai arti penting bagi Amerika Serikat dan merupakan landasan hubungan luar negerinya. Deklarasi unilateral oleh presiden James Monroe menetapkan dua prinsip doktrin. Pertama doktrin tersebut menetapkan agar Amerika serikat menghormati pembagian kekuasaan yang sudah ada di dunia belahan barat. “Dengan koloni yang sudah ada atau ketergantungan terhadap kekuatan Eropa mana pun, kami tidak pernah campur tangan dan takkan pernah campur tangan”. Kedua, doktrin tersebut menyatakan perlawanan Amerika serikat terhadap perubahan apa pun atas  pembagian kekuasaan yang ada oleh suatu negara non-Amerika : “Tetapi dengan pemerintah yang telah menyatakan kemerdekaannya dan mempertahankan kemerdekaan itu, juga kemerdekaan yang telah kita... akui, kita tidak dapat membiarkan tindakan campur tangan apa pun yang bertujuan menekan mereka, atau mengendalikan nasib mereka dengan cara apa pun, oleh kekuatan Eropa mana pun dengan anggapan selain manifestasi disposisi tidak ramah terhadap Amerika Serikat.”[4]
Dengan demikian, Amerika secara jelas menolak setiap bentuk intervensi asing terhadap negaranya dan juga negara di benua Amerika, dan sebagai “balasannya” Amerika tidak turut campur dalam urusan negara-negara Eropa serta memilih untuk bersifat netral terhadap konflik yang berlangsung di benua Eropa.
Ketidak ikut campuran Amerika dalam percaturan konflik Eropa membuatnya fokus dalam membangun negara sehingga pada saat tersebut mulailah tumbuh benih-benih politik isolasi dalam masyarakat Amerika. Isolasi yang dijalankan oleh Amerika adalah sebuah bentuk ketidakberpihakan Amerika terhadap blok manapun di Eropa dan lebih memilih bersikap netral.
            Apabila merujuk pada ucapan Geoge Washington dalam pidato perpisahannya di depan Kongres, adalah bahaya dan tidak ada manfaatnya bagi Amerika untuk berpihak pada blok-blok yang sedang bertikai di Eropa “bagi Eropa ada sejumlah kepentingan mendasar yang tidak ada kaitannya dengan kita atau hubungan kita dengannya jauh karena itu mengharuskan Eropa untuk terjun dalam konflik yang terus-menerus yang sebabnya asing bagi kita dan juga kepentingan kita” selain itu diutarakan pula oleh Washington bahwa tidak bijak jika “ kami melibatkan diri dengan ikatan-ikatan semu dalam pergolakan politik dan kelompoknya serta konflik permusuhan dan persahabatannya. Sesungguhnya posisi kita yang jauh dan terpisah darinya mengajak kita untuk, bahkan dapat mengikuti jalan lain…. Mengapa kita harus meninggalkan keistimewaan posisi yang unik ini? kenapa kita meninggalkan tanah kita untuk berdiri di tanah yang asing dengan kita? Kenapa kita harus mengikatkan nasib kita dengan nasib eropa sementara kita melibatkan bangsa kita dengan ambisi-ambisi negara eropa dan menyaingi dalam kepentingan langkah-langkahnya?” [5]
Ucapan Washington tersebut dapat menggambarkan rasa nasionalisme untuk melawan penjajah (bangsa Eropa) telah muncul pascaperang kemerdekaan. Nasionalisme di Amerika tersebut membentuk isolasi politik dan ideologi antara Amerika dan Eropa. Meskipun tidak secara langsung Washington mendoktrin untuk melakukan isolasi dan pemutusan hubungan dengan Eropa, tetapi ketika Monroe menyatakan doktrinnya, hal tersebut layaknya sebuah dorongan lain bagi masyarakat Amerika untuk benar-benar menutup diri dari konflik-konflik Eropa dan fokus terhadap pembangunan negara sendiri.
Dengan doktrin Monroe, paham demokrasi dan sistem ekonomi yang dianutpun turut mendorong politik isolasi dilaksanakan oleh masyarakat Amerika. Untuk membangun ekonomi, Amerika mengadopsi kapitalisme dan liberalisme perdagangan dari revolusi industri. Hal tersebut mendorong masyarakat Amerika berorientasi pada ekonomi dan materialisme, sedangkan politik bukan sesuatu yang penting bagi mereka. Dengan berfokus pada ekonomi masyarakat Amerika mendapati dirinya dalam damai dan kemakmuran sedangkan negara-negara Eropa masih sibuk dalam konflik dan peperangan. Titik tolak tersebut menciptakan satu falsafah bagi Amerika yang melandasi politik isolasi; bahwa Amerika harus memutus hubungan dengan Eropa karena dengan adanya isolasi dari Eropa, Amerika dapat menjaga kejernihan demokrasinya dan terfokus pada politik dalam negeri dengan mengembangkan kekakayaan dan menjaga kebebasan.[6]

2 Perang Dunia Pertama sebagai bentuk penyimpangan Doktrin Monroe
Bergolaknya konflik negara-negara Eropa berakhir dengan munculnya perang dunia pertama pada tahun 1914. Perang yang hanya melibatkan negara-negara Eropa tersebut sering disebut sebagai perang Eropa, tetapi dampak dari perang tersebut berpengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat Amerika dan juga politik luar negerinya. Sejak 1914, Amerika mulai menjadi sebuah kekuatan dunia, mendapatkan hubungan jauh dengan koloni, menjadi sebuah elemen dalam keseimbangan kekuatan Eropa, dan  kebijakan luar negerinya berubah dari kebenuaan dan keisolasian ke dalam sebuah bidang yang lebih besar.[7]
Bagi masyarakyat Amerika yang hidup pada 1914, pecahnya perang di Eropa—Jerman dan Austria- Hongaria melawan Inggris, Perancis, dan Rusia—membuat mereka tersentak. Awalnya pertempuran itu seakan terasa sangat jauh, tapi dampak ekonomi dan politiknya terasa dalam waktu singkat dan dengan parah. Selama 1915, industri Amerika, yang sedang mengalami masa depresi ringan, mulai membaik karena adanya permintaan peralatan perang dari Sekutu di Barat. Kedua pihak yang berseteru menggunakan propaganda untuk menyulut semangat rakyat Amerika—yang sepertiganya adalah warga negara asing atau lahir dari orangtua berkewarganegaraan asing.[8]
Awalnya, bangsa Amerika masih memegang teguh sikap netralnya terhadap negara-negara yang berkonflik, dengan masih di bawah doktrin Monroe, keterlibatan Amerika dalam perang tersebut hanya sebatas produsen dan penjual senjata untuk para negara yang berperang di Eropa, tidak ambil bagian dari konflik secara langsung. Bangsa Amerika dimasa damai tidak memalingkan perhatiaannya pada masalah luar negeri karena itu akan memalingkan manusia dari nilai materi mereka serta membalikkan nilai-nilai sosialnya, kecuali dengan terpaksa.
Faktor yang mulai menggoyahkan kenetralan masyarakat Amerika dalam mempertahankan doktrin Monroe adalah ketika kapal-kapal Amerika dihadang, digeledah serta barang-barangnya diambil oleh Inggris ataupun Jerman, hal yang dilakukan Amerika masih sebatas protes dan peringatan. Kemudian, kapal sipil Inggris, Lusitania, pada 7 Mei 1915 ditenggelamkan oleh kapal selam Jerman sehingga menewaskan 1.198 orang, 128 orang di antaranya adalah orang Amerika. Hal itu tentu menimbulkan kemarahan rakyat Amerika sehingga membuat Presiden Wilson mendesak agar penyerangan terhadap angkutan laut dan kapal dagang Amerika segera dihentikan. Adanya peringatan dari Amerika tersebut membuat Jerman untuk sementara waktu menghentikan perang kapal selamnya, tetapi pada Agustus 1915, Jerman kembali melakukan serangan untuk menenggelamkan kapal pesiar Inggris, Arabic, dan kapal pesiar Perancis, Sussex, yang hancur terkena torpedo pada Maret 1916.
Hal tersebut tentu tidak dapat lagi ditolerir oleh Amerika, ketika negara-negara yang berperang mulai mengancam dan mengganggu hak hidup masyarakat Amerika, tentu bangsa Amerika tidak bisa tinggal diam dan tidak mungkin berpura-pura tidak mengetahuinya sehingga Amerika yang menjunjung demokrasi dan kebebasan menuntut pertanggung jawaban dari akibat perang yang berdampak pada Amerika. Amerika tidak dapat lagi hanya sekedar memberikan peringatan, tentu harus ada ketegasan sikap dalam menghadapi Perang Dunia Pertama. Maka, konsekuensi logis dari hal tersebut adalah penyimpangan terhadap dokrin Monroe dan politik isolasi.
Presiden Wilson yang kembali terpilih pada 1916, merasa mengemban tugas untuk bertindak sebagai pendamai, dia berpidato di hadapan Senat Amerika, pada 22 Januari 1917, mendesak negara yang sedang berperang untuk menerima “perdamaian tanpa kemenangan.” Namun pada 31 Januari 1917, pemerintah Jerman mulai menjalani perang terbuka di dasar laut dan menyebabkan lima armada laut Amerika tenggelam. Maka tidak mungkin lagi Amerika hanya memberikan ultimatum tanpa bertindak. Ketika provokasi dikobarkan, maka penggunaan sarana kekerasan seperti perang digunakan untuk mencapai kedamaian dan kestabilan. Sementara serangan militer Amerika hanya untuk membela demokrasi dan mengenyahkan musuh yang tidak bermoral yang bisa mengancam demokrasi.[9]
Perang yang dilancarkan Amerika menurut pandangan bangsa Amerika bukanlah suatu bentuk politik kekuasaaan seperti yang dilakukan oleh negara-negara Eropa yang yang didorong oleh konflik antarkelas. Keterlibatan Amerika dalam kancah perang dunia adalah untuk mengembalikan perimbangan di Eropa, di mana penguasaan satu negara terhadapnya akan mengecam keamanan Amerika itu sendiri. Adapun intervensi menurut cara pandang bangsa Amerika adalah dalam rangka menghapuskan kediktatoran dan mengembalikan demokrasi.[10]
 Dengan pandangan tersebut, maka Amerika mulai merealisasikan untuk masuk kancah perang dan bergabung dalam blok sekutu. Pada tanggal 2 April 1917 Presiden Wilson mendapat persetujuan untuk mendeklarasikan perang dari Kongres. Pemerintah bergerak cepat dalam mengerahkan sumber daya militer, industri, tenaga dan hasil pertanian untuk persiapan perang. Selama Oktober 1918, pada malam sebelum kemenangan pihak Sekutu, lebih dari 1.750.000 tentara Amerika telah tersebar di Perancis. Pada musim panas 1918, tentara Amerika yang baru tiba di bawah pimpinan Jendral J. Pershing memainkan peranan penting dalam menghentikan serangan terakhir dari Jerman. Pada musim gugur tahun itu, tentara Amerika merupakan tokoh kunci dalam serangan di Meuse-Argonne, yang berhasil menembus Garis Hindenburg Jerman. Presiden Wilson berkontribusi besar dalam mengakhiri perang secara lebih cepat dengan mendefinisikan tujuan perang Amerika yang menyatakan perjuangan ini bukan untuk memerangi rakyat Jerman melainkan terhadap pemerintahan otoriter mereka.[11]
Meskipun masuknya perang Amerika dalam perang dunia pertama menyimpang dari doktrin Monroe, tapi Amerika berupaya supaya bentuk akhir dari perang ialah suatu perasaaan untuk menjaga perdamaian diantara negara-negara Eropa. pasca berakhirnya perang tahun 1918, presiden Wilson mengajukan suatu keputusan pada Senat yang disebut dengan Empat Belas Poin, yang salah satu isinya adalah pendirian liga bangsa-bangsa untuk mengikat perdamaian antar negara yang berperang. Namun negara-negara yang berkonflik tersebut, khususnya blok Sekutu yang menang perang dunia pertama, mengeluarkan perjanjian Versailles yang salah satu isinya adalah membebankan tanggungan pampasan perang yang sangat berat terhadap Jerman.
Pendirian Liga bangsa-bangsa yang digagas oleh presiden Wilson ini mendapat opposisi dari senator Republik di Senat, Borah dan Lodge. Presiden Wilson gagal melibatkan tokoh terkemuka partai Republik dalam negosiasi perjanjian perdamaian. Ia kembali dengan dokumentasi setengah jadi, dan menolak mengadakan konsesi yang diperlukan guna melenyapkan kekhawatiran partai Republik tentang perlindungan terhadap kedaulatan Amerika. Dalam dua kali pengambilan suara—pada November 1919 dan Maret 1920— Senat kembali menolak Traktat Versailles dan juga menolak Liga Bangsa-bangsa. Penolakan Senat terhadap Traktat Versailles dan Liga Bangsa-bangsa serta kekalahan Wilson menunjukkan rakyat Amerika belum siap berperan sebagai pemimpin di tingkat dunia. Visi Wilson yang terlampau muluk sempat menginspirasi bangsa Amerika dalam waktu singkat, namun ketika terbentur dengan kenyataan, visi tersebut dengan cepat menimbulkan kekecewaan luas terhadap masalah dunia. Secara naluriah Amerika kembali menganut isolasionisme.[12]

 
KESIMPULAN

Doktrin Monroe yang diucapkan oleh Presiden Amerika ke-5, James Monroe, pada tanggal 2 Desember 1823 di hadapan Kongres mendapat sambutan baik dari masyarakat Amerika untuk bersikap netral dan tidak ikut campur dalam konflik negara-negara Eropa karena  dalam menjalankan politik luar negerinya, Amerika menjunjung demokrasi dan kebebasan. Munculnya Doktrin Monroe mampu memberikan pengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat Amerika Serikat pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Berkorelasi dengan hal tersebut, Amerika menjalankan politik isolasi yang berlangsung di berbagai bidang kehidupannya, baik di bidang ekonomi dan politik sehingga kehidupan di amerika dapat dikatakan damai, karena masyarakat tidak terganggu urusan politik luar negeri negara lain dan fokus membangun negerinya.
Pecahnya perang dunia pertama di Eropa tahun 1914 turut menyeret Amerika untuk turun langsung mengatasi perang. Hal tersebut merupakan penyimpangan dari Doktrin Monroe yang salah satu isinya menyatakan bahwa Amerika tidak terlibat dalam urusan konflik negara-negara Eropa. namun, Presiden Wilson, sebagai presiden yang menjabat pada masa itu tidak bisa tinggal diam ketika Amerika dan masyarkatnya mulai terancam kedaulatannya karena perang tersebut, terutama oleh Jerman dengan perang kapal selamnya. Maka pada tahun 1917, Presdien Wilson yang mendapatkan persetujuan dari Kongres menyatakan terlibat perang dan ikut dalam blok Sekutu. Tujuan masuknya Amerika dalam perang dunia satu adalah sebagai bentuk menjaga perdamaian dan keamanan berdirinya demokrasi.
Cepat berakhirnya perang dunia pertama pada tahun 1918 salah satunya adalah karena jasa Presiden Wilson, sehingga sebagai bentuk menjaga perdamaian, dia mengajukan pembentukan Liga Bangsa-Bangsa dengan Amerika sebagai pemimpinnya. Akan tetapi, terjadi penolakan oleh Senat Amerika Serikat terhadap keterlibatan Amerika dalam liga yang dikhususkan untuk penyelesaian perdamaian negara-negara Eropa sehingga secara naluriah, Amerika kembali menganut politik isolasi.

Daftar Pustaka
Biro Program Informasi Internasional. 2005. Garis Besar Sejarah Amerika. Departemen Luar Negeri Amerika Serikat.
Cipto, Bambang. 2007. Amerika. Lingkaran Buku : Yogyakarta.
Dukes, Paul. 2000.  The Superpowers : A Short History. Routledge: New York.
Donova, Frank. 1963. Mr. Monroe’s Message : The Story of the Monroe Doctrin. Dood, Mead and Company  : New York.
Morgenthau, Hans. J. 2010. Politik Antarbangsa. Perpustakaan Nasional : Jakarta.
Musa, Muhammad. 2003. Hegemoni Barat Terhadap Percaturan Politik Dunia : Sebuah Potret Hubungan  Internasional. Wahyu Press : Jakarta.
Perkins, Dexter. 1944. America and Two Wars. Little, Brown and Company : Boston.

Sumber Internet :
http://usa.usembassy.de (diakses pada hari kamis, 10 desember 2015. Pukul 15:35 WIB)


[1] Hans J. Morgenthau. Politik Antarbangsa. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010), hlm. 23
[2] Biro Program Informasi Internasional. Garis Besar Sejarah Amerika. (Departemen Luar Negeri Amerika Serikat : 2005). hlm. 125
[3] Frank Donova. Mr. Monroe’s Message : The Story of the Monroe Doctrin. (New York : Dood, Mead and Company, 1963). hlm. 4
[4] Hans J. Morgenthau. Op. Cit. hlm. 60
[5] Muhammad Musa. Hegemoni Barat Terhadap Pencaturan Politik Dunia: Sebuah Potret Hubungan Internasional. (Jakarta: Wahyu Press, 2003), hlm. 122
[6] Muhammad Musa. Op. Cit. hlm. 129-130
[7] Dexter Perkins. America and Two Wars. (Boston : Little, Brown and Company, 1944), hlm. 3
[8] Biro Program Informasi Internasional. Op.Cit. hlm. 228
[9] Muhammad Musa. Op. Cit. hlm. 132
[10] Muhammad Musa. Op. Cit. hlm. 131-132
[11] Biro Program Informasi Internasional. Op.Cit. hlm. 229
[12] Biro Program Informasi Internasional. Op.Cit. hlm. 230

Senin, 16 Januari 2017

PERKEMBANGAN PERKEBUNAN TEMBAKAU DI SUMATERA TIMUR 1865-1891

perkebunan tembakau di Deli
sumber : kitlv.nl



LATAR BELAKANG

Konsentrasi Pemerintah Hindia Belanda dalam perekonomian di Pulau Jawa dan banyaknya perang yang dihadapi di Jawa, terutama perang Diponegoro yang menghabiskan biaya, menyebabkan ekspansi wilayah ke Nusantara bagian barat tidak terlalu besar atau dapat dikatakan belum ada. Ketidakberminat Belanda dalam melakukan ekspansi teritorial ke daerah-daerah luar Jawa tersebut karena sejak tahun 1830, Jawa menjelma menjadi sebuah daerah koloni yang menghasilkan banyak keuntungan lewat tanam paksa.
Munculnya kesadaran Belanda untuk melakukan ekspansi daerah-daerah nusantara lain disebabkan kekhawatiran akan terancamnya hegemoni Belanda di wilayah nusantara, terutama  munculnya “Raja Brooke” di Serawak yang mendeklarasikan diri sebagai Raja Serawak dengan asal kebangsaan dari Inggris. Tidak hanya itu, ekspansi Belanda juga didasari oleh motif ekonomi seperti adanya pembukaan perkebunan komoditi eksport serta penemuan bahan-bahan mineral yang berharga di daerah luar Jawa, yaitu timah di daerah pulau Bangka, Belitung, dan Singkep, batu bara di Ombilin, Sumatera Barat, emas di Kalimantan barat dan batu bara di Kalimantan Tenggara.[1]
Dengan perluasan dan peningkatan ekonomi yang dilakukan oleh Belanda menyebabkan ketertarikan para pemodal asing untuk melakukan investasi di Hindia Belanda, terutama pada wilayah perkebunan. Maka pada tahun 1870 ketika kebijakan pintu terbuka atas Hindia Belanda diterapkan, banyak modal asing yang berkiprah dalam usaha perkebunan, salah satunya perkebunan tembakau di daerah Sumatera Timur.
Perkebunan tembakau Sumatera Timur melambung namanya ketika seorang Belanda, Jacob Nienhuis, pada tahun 1865 mampu menjual 189 bal daun tembakau dengan mudah di Eropa dengan harga yang tinggi dan kualitas yang baik. Hal itu ternyata mampu menarik perhatian kalangan-kalangan besar negeri Belanda untuk menanam tembakau di Sumatera Timur, seperti Badan Usaha Dagang Belanda (Nederlandshe Handel Maatschappij) milik Raja Willem 1 yang menanam sahamnya pada perkebunan Nienhuis tahun 1869. Kemudian, masuknya modal swasta mengakibatkan semakin luasnya wilayah perkebunan tembakau, di mana beberapa daerah di Sumatera Timur berubah kawasan dari hutan-hutan menjadi perkebunan. 
Akan tetapi, semakin meningkatnya produksi tembakau dari Sumatera Timur pada akhir abad ke 19  membuatnya mengalami sebuah ketidakseimbangan dan penurunan, sedangkan permintaan menurun, terutama di Amerika karena diberlakukannya peningkatan bea impor, membawanya pada krisis tahun 1891.  Untuk mengatasi hal tersebut perkebunan-perkebunan tembakau dikurangi jumlahnya dan untuk mengisis kekosongan lahan, pada tahun 1904 di Sumatera Timur wilayah perkebunan tersebut mulai ditanami tanaman eksport lain, seperti kopi, karet dan sawit dalam skala besar
Hal penting yang tidak dapat dilepaskan dari perkembangan perkebunan di Sumatera Timur tersebut adalah kebutuhan akan tenaga kerja. Kebutuhan tenaga kerja yang banyak tidak mampu disediakan oleh daerah Sumatera Timur sehingga mengakibatkan dipekerjakannya buruh dari luar Sumatera Timur, seperti pekerja Cina  dan Jawa. Adanya pekerja-pekerja yang bekerja di perkebunan milik swasta tersebut memunculkan suatu peraturan kontrak kerja yang dikenal dengan Koeli Ordonantie dan Poenalie Sanctie

Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan di atas maka makalah ini akan menjelaskan mengenai perkembangan perkebunan tembakau di Sumatera Timur dengan adanya campur tangan asing eropap serta dampaknya terhadap kemunculan buruh asing pada tahun 1865 sampai 1891 dengan beberapa pertanyaan pendukung untuk melengkapi bahasan makalah yang diajukan, yaitu :
1.      Faktor-faktor apa yang mendukung berkembangnya perkebunan tembakau di sumatera timur pasca tahun 1865?
2.      Bagaimana dampak krisis tahun 1891 terhadap perkebunan tembakau?
3.      Mengapa perkembangan perkebunan tembakau ikut mempengaruhi terhadap perkembangan buruh di Sumatera Timur?
Ruang lingkup masalah
Pembahasan penulisan makalah ini terdiri dari tiga ruang lingkup, yaitu dari segi temporal, spasial dan masalah yang diangkat. Dari segi spasial atau tempat, penulisan ini mengambil tempat di sumatera Timur. Dari segi temporal atau waktu adalah tahun 1865 sebagai awal pijakan dan tahun 1891 sebagai akhir tahun pembahasan. Tahun 1865 dijadikan sebagai patokan awal karena Nienhuis mampu menghasilkan tembakau yang berkualtas tinggi dan dijual dengan harga tinggi di rotterdam, bleanda sehingga mampu memicu perusahaan utuk ikt menanamkan sahamnya di perusahaan yang kemudian dibangun oleh nienhuis dan saat hindia belanda dibuka untuk modal asing pada tahun 1870, para pemdal-pemodal asing tersebut menanamkan modalnya di perkebunan tembakau sumatera timur sehingga sdlam jangka waktu tdak lama perkeubna-perkebunan tembakau asing bermunculan, sedangkan tahun 1981 dijadikan patokan akhir pembahasan karena pada tahun tersebut harga atembakau yang tinggi dipasaran dunia jjatuh dengan mudahnya karena munculnya faktor-faktor ekternal, dan menjadi titik puncak besarnya perkebunan tembakau di sumatera timur, dan setealah nya perkebunan tembakau banyak mengalami penurunan, baik di liuidasi maupun ditutup. Kemudian dari segi masalah yang diangkat dari penulisan ini adalah mengenai perkembangan perkebunan tembakau di sumatera timur pasca masuknya belanda.

Tujuan penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui sejauh mana perkembagan daerah sumatera timur dalam bidang perkebuna temabkau yang mulai me

Metode penulisan
Metode peulisn ang digunakan untuk makalah ini adalah metode sejarah,. Dengan em[at tahapan terstruktur, yaitu heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi.
Metode penulisan yang digunakan dalam penulisan skripsi adalah metode sejarah. Metode ini mencakup empat tahap, yaitu heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Heuristik adalah tahap pencarian sumber sejarah, pada tahap ini menggunakan sumber sekunder, yaitu berupa buku, thesis, dan jurnal yang didapatkan dari Perpustakaan Pusat UI, internet dan milik pribadi. Setelah sumber data terkumpul, maka tahap kedua adalah melakukan kritik sumber. Terdapat dua hal yang dapat dilakukan dalam mengkritik sumber, yaitu kritik intern dan kritik ekstern. Pada kritik intern penulis menentukan kredibelitas dari sumber yang didapatkan, sedangkan pada kritik ekstern memastikan otentitas dari sumber yang telah didapatkan. Kedua kritik tersebut untuk memastikan bahwa sumber yang akan digunakan layak dijadikan sumber dan akurat, kritik sumber inipun dilakukan dengan membandingkan satu sumber dengan sumber lain agar sumber yang akan digunakan benar-benar akurat. Tahap ketiga adalah interpretasi atau penafsiran, pada tahap ini penulis melakukan analisis terhadap isi dari sumber yang didapatkan. Kemudian tahap terakhir adalah historiografi, yaitu penulisan sejarah. Tahap ini dilakukan setelah ketiga tahap di atas selesai dengan baik. Historiografi inipun ditulis dengan judul perkembangan perkebunan tembakau di sumatera timur tahun 1865-1891.

Tinjauan pustaka
Untuk menunjang penulisan makalah ini digunakan beberapa sumber sekunder, berupa buku, tesis, maupun jurnal yang di dapat dri perpustakaan pusat universtas indonesia, internet, dan buku pribadi
Buku utama yang dijadikan rujukan adalah toean kebun dan petani. Politik kolonial dan permaslahan agraria. Karya karl peolzer

Sistematika penulisan
Untuk mempermudah dalam penulisan, pembahasan makalah ini akan dibagi dalam lima bab, yang terbagi dalam bab-bab sebagai berikut :
Bab pertama adalah pendahuluan. Pada bab ini di paparan mengenai latar belakang penulisan skripsi, rumusan masalah, ruang lingkup masalah, tujuan penulisan, metode penulisan, tinjauan pustaka, dan sistematika penulisan.
Bab kedua akan menjelaskan mengenai keadaan sumatera timur, baik dari segi geografis maupun sosial sampai munculnya camputr tangan blelanda ke wilaah sumatera timur dnegan adanya perjanjian siak, yaitu perjanjian antara belanda dengan sultan siak untuk menyatakan tunduk pada kedudukan belanda. Dengan adanya pengaruh belanda di suamtera timur menyebabkan munculnya
Bab ketiga menjelaskan mengenai latar belakang pemilihan Pondok Indah sebagai real estate dan juga proses pembebasan tanah yang dilakukan untuk pembangunan Pondok Indah serta penjelasan beragam fasilitas yang dibangun sebagai penunjang Pondok Indah.
Bab keempat membahas mengenai dampak yang terjadi akibat pembangunan Pondok Indah, baik bagi Jakarta maupun bagi penduduk di sekitar Pondok Indah, pada bab ini juga diuraikan bagaimana Pondok Indah mampu menjadi “tanda” sebuah kawasan elite di Jakarta dan juga ciri metropolitannya kota Jakarta yang sejajar dengan kota lain di dunia.
Terakhir adalah bab lima,yaitu berisi kesimpulan dari pembahasan bab-bab sebelumnya yang menarik hasil dari pembahasan yang telah dipaparkan.


MODAL SWASTA DAN PERKEMBANGAN PERKEBUNAN TEMBAKAU 1870-1891

Sejak akhir abad ke-19, Hindia Belanda bukan lagi sebuah wilayah monopoli ekonomi dari Pemerintah Hindia Belanda. Kemenangan kaum liberal pada tahun 1850 di Belanda mendorong Hindia Belanda untuk dibuka sebagai tempat penanam modal swasta yang bertujuan meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat pribumi. Modal swasta yang masuk tersebut tidak hanya dari negeri Belanda, tetapi juga negara lain seperti Inggris dan Amerika. Modal-modal tersebut masuk dalam berbagai sektor ekonomi, seperti perkebunan dan pertambangan. Dalam bidang perkebunan, masuknya modal swasta mampu meningkatkan kuantitas perkebunan besar di beberapa wilayah di Jawa dan Sumatera, salah satunya perkebunan termbakau di Sumatera Timur.
Wilayah Sumatera Timur masuk dalam wilayah kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda setelah ditandatanginya perjanjian antara Sultan Siak dan Pemerintah Hindia Belanda pada 1 Februari 1858 yang dikenal dengan Traktat Siak. Dalam perjanjian tersebut dinyatakan bahwa Siak beserta daerah taklukannya sampai batas Tamiang yang berbatasan dengan Aceh berada di bawah perlindungan Belanda. Kemudian pada 22 Agustus tahun 1862 dibuat penandatangan perjanjian Acte van Verband antara Pemerintah Hindia Belanda dengan Sultan Deli sehingga memperkokoh kekuasaan Belanda di Sumatera Timur.[2] Maka ketika modal asing dibuka, Sumatera Timur telah berada di bawah kekuasaan pemerintah Hindia Belanda.
Sebelum pengusaha-pengusaha barat datang untuk membuka lahan perkebunan, lahan yang subur telah dimanfaatkan oleh masyarakat di daerah sekitarnya, yaitu Batak Karo dan Melayu untuk menanam padi, cabai, dan tembakau secara berselang-seling.[3] Tidak hanya itu, masyarakat juga menanam lada untuk dieskpor serta menanam tembakau. Hal itu sudah diketahui juga oleh orang asing sejak masa Anderson.[4] Pengamatan Anderson mengenai penanaman tembakau Deli sangat penting karena tanaman inilah yang kemudian membuat Deli terkenal ke seluruh dunia. Tembakau yang ditanam oleh orang-orang Melayu dan Batak dilakukan dengan cara yang sangat sederhana.[5] Namun tanaman tembakau yang diusahakan oleh masyarakat tersebut masih dalam skala kecil sehingga tidak mampu memberikan keuntungan yang besar.
Komoditas tembakau Sumatera Timur itu mendunia berkat jasa Jacob Nienhuis, seorang pekerja perkebunan belanda di surabaya, J.F. van Leeuwen and Co. yang datang ke Deli pada 6 Juli 1863 karena mendapat perintah untuk bertemu Said Abdullah yang menyatakan bahwa wilayah Deli sebagai wilayah yang berpotensi memproduksi tembakau dengan mutu baik. Namun pada awal tahun tersebut pengusahaan tembakau oleh Nienhuis tersebut tidak memberikan hasil yang baik sehingga J.F Leeuwen and Co. menarik kembali pekerja dan bantuannya ke Jawa, namun Nienhuis tetap bertahan. Pada 1865, perkebunan tembakau Nienhuis mampu menghasilkan daun tembakau sebanyak 189 bal. Nienhuis kemudian menjualnya ke Eropa dan mampu mendatangkan keuntungan karena bermutu baik sehingga menunjukan ketertarikan yang besar dari pengusaha-pengusaha di sana.[6] Pada tahun 1869,  Badan Perusahaan Dagang Belanda milik Raja Willem 1 (Netherland Handels Maatschappij) menanamkan modalnya pada perusahaan Nienhuis dan temannya (Jannsen dan Clemen), yaitu Deli Maatschappij dengan total saham 50%.
Ketika kebijakan pintu terbuaka bagi modal swasta diberlakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda, terbukalah kesempatan bagi para pengusaha Eropa untuk menanamkan modalnya di Wilayah Sumatera Timur dan hal tersebut juga didukung oleh pemberlakuan Undang-Undang Agraria tahun 1870. Undang-undang tersebut memberi peluang untuk membuka lahan perkebunan seluas-luasnya di wilayah Sumatera Timur. Pembukaan hutan untuk perkebunan tidak saja dipusatkan di Deli, akan tetapi meluas ke daerah Serdang, Langkat, Simalungun, dan Asahan. Maka wilayah Sumatera Timur yang awalnya merupakan hutan belantara, dalam beberapa dekade berubah menjadi salah satu daerah penghasil komoditi ekspor tembakau terpenting di Hindia Belanda. Daerah-daerah yang berada di sepanjang Pesisir Pantai Sumatera menjadi incaran para pengusaha Eropa untuk mengembangkan tanaman komoditas yang tengah laku di pasaran dunia.
Adapun untuk mendapatkan daerah perkebunan, para pengusaha-pengusaha asing tersebut harus menyewanya dari penguasa setempat, seperti  sultan Deli, sultan Langkat, dan yang lainnya. Perusahaan Nienhuis, yaitu Deli Maatschappij mendapatkan sewa tanah dari Sultan Deli, di mana sultan deli memberi konsesi-konsesi tanah dalam kontrak selama 12 tahun pertama, yang jangka waktunya berbeda-beda. Beberapa konsesi berlaku untuk 99 tahun, yang lainnya berlaku untuk 70 tahun atau 75 tahun. Pada Kontrak Mabar-Delitua tanggal 11 Juni 1870 yang ditanda tangani oleh Sultan Deli dan Deli Maatschappij, disepakati pembukaan lahan seluas 12.000 bau[7] dalam waktu lima tahun. Pada akhir jangka lima tahun Deli Maatschappij memperoleh hak selama 99 tahun atas semua tanah yang sudah dibuka dan ditanami. Kontrak lain yang disepakati pada tanggal 4 Desember 1869, adalah Kontrak Polonia yang ditandatangani oleh Sultan Deli, yaitu hak konsesi untuk membuka tanah antara sungai Deli dan Babura. [8] Pada tahun 1868 keuntungan yang diperoleh Jacobus Nienhuys lebih dari 100%, di mana biaya yang dkeluarkan 30.000 gulden dengan keuntungan 67.000 gulden
Bukan hanya Sultan Deli yang menawarkan tanahnya kepada pemodal Eropa, melainkan juga Sultan Langkat. Tahun 1871 Sultan Langkat mengkonsesikan tanahnya seluas 17.000 bau,  dan 20 buah perkebunan berdiri di atas tanah tersebut.
Tabel 1
Perluasan perkebunan tembakau di wilayah Sumatera Timur
Tahun
Jumlah penanaman tembakau
Keterangan
1864
1
Nienhuis pionir pengusahaan perkebunan
1872
22
Periode dari ledakan tembakau, setiap tahun berdatangan pengusaha perkebunan baru
1880
49
1888
148
1891
169
Sumber : based, in part, on E. C. J. Mohr, The Soils of Equatorial Regions with  Special Reference to the Netherlands East Indies, p. 174

perkebunan tembakau di deli, 1905
sumber : kitlv.nl


KRISIS PERKEBUNAN TEMBAKAU SUMATERA TIMUR 1891

Perkembangan perkebunan tembakau di Deli, Langkat, dan Serdang akhirnya mengalami kemunduran. Pada akhir dasawarsa delapan puluhan mulai tampak adanya kelebihan produksi, terlebih pada tahun 1891, di mana panen tembakau mencapai 500.000 bal atau lebih banyak dari tahun sebealumnya. Akibat dari kelebihan produksi tersebut menyebabkan terjadinya krisis sehingga harga tembakau jatuh di pasaran dunia melebihi 50%. Krisis yang terjadi tersebut disebabkan oleh beberapa faktor. pertama pasr dunia mengalami peningkatan penawaran tembakau, terutama karena kenaikan produksi tembakau Deli. Kedua, UU tarif bea masuk Mc. Kinley (tarif bea masuk atas impor tembakau ke Amerika Serikat) dinaikan sehingga pada tahun 1891 pembelian tembakau oleh Amerika tidak terjadi. Akibat dari adanya krisis tersebut maka beberapa perkebunan tembakau mulai ditutup sebagian. Antara tahun 1890 sampai 1894 tidak kurang dari 25 perusahaan tembakau yang memiliki banyak perkebunan di bubarkan. [9]

Tabel 2
Perluasan dan penyusutan industri tembakau seperti yang diperlihatkan dari jumlah perkebunan penanaman tembakau.[10]
Tahun
Jumlah penanaman tembakau
Periode
Keterangan
1864
1
Periode perluasan
Nienhuis pelopor pengusahaan perkebunan
1872
22
Periode dari ledakan tembakau, setiap tahun berdatangan pengusaha perkebunan baru
1880
49
1888
148
1891
169
1896
120
Periode penyusutan
Perubahan dalam tarif bea masuk atas impor  tembakau ke amerika serikat pada tahun 1891
1904
114
Awal dari perubahan besar dari tembakau ke kopi, karet, dan kelapa sawit
Sumber : based, in part, on E. C. J. Mohr, The Soils of Equatorial Regions with  Special Reference to the Netherlands East Indies, p. 174
Akibat penting dari adanya krisis 1891 adalah tidak hanya dikuranginya luas tanah yang ditanami tembakau, akan tetapi mulai ada peningkatan usaha penanaman tanaman-tanaman perdagangan baru yang mempunyai prospek ekspor yang baik di pasaran dunia layaknya tembakau, karena krisis 1891 memperlihatkan bahaya ekonomi yang bergantung pada satu tanaman (monoculture economy). Tanaman yang ditanaman dalam skala besar dan menguntungkan adalah karet. Tanaman karet tersebut ditanam di daerah Serdang yang mulai diproduksi secara serius dalam skala besar pada tahun 1906 setelah sebelumnya melakukan penanaman percobaan dari tahun 1899 sampai tahun 1905.


BURUH PERKEBUNAN TEMBAKAU

Masalah mengenai tenaga kerja untuk perkebunan tembakau asing sejak awal telah muncul, yaitu sejak pertama kali perkebunan milik Nienhuis dibuka pada tahun 1863. Tidak seperti penduduk di Jawa yang padat dengan tanah yang sempit, di Sumatera Timur penduduknya sedikit dan tanah relatif luas untuk digarap sehingga tidak ada keinginan untuk bekerja di perkebunan asing untuk mendapatkan penghasilan. Untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja tersebut Nienhuis pergi ke Penang untuk memperkerjakan orang-orang Cina. Kemudian ketika modal swasta mulai banyak masuk ke Hindia Belanda, hal serupapun juga dilakukan, yaitu mencari tenaga kerja Cina ke Penang dan Singapura melalui perantara-perantara (broker) Cina.
Pengerahan tenaga kerja lewat perantara tersebut cukup memakan biaya yang mahal karena para perantara menuntut uang komisi yan tinggi untuk jasa mereka, selain itu sistem rekruitmen tenaga kerja lewat perantara menimbulkan penyelewengan, seperti terjadinya penculikan dan penipuan terhadap calon tenaga kerja dengan cara membujuk calon tenaga kerja lewat janji yang muluk-muluk untuk pergi ke Sumatera Timur tanpa mengetahui keadaan yang sebenarnya. Oleh karena hal-hal tersebut, para pengusaha perkebunan mengambil keputusan untuk mencari sendiri pekerja-pekerja di negeri Cina. Pada tahun 1879 para pengusaha perkebunan tembakau Sumatera Timur tergabung dalam perhimpunan pengusaha-pengusaha perkebunan Deli (Deli Planters Vereniging atu DPV) sebagai sebuah tempat untuk membicarakan permasalahan yang dihadapi pengusaha perkebunan secara bersama-sama, termasuk mengenai tenaga kerja. Pada tahun 1888, DPV mendrikan suatu biro imigarasi untuk mengurus calon tenaga kerja dari Cina dan juga pengangkutannya dari Cina ke Sumatera Timur, serta mengatur alokasi pekerja-pekerja tersebut di berbagai perkebunan. Hasil yang diperoleh dari sistem ini cukup membuat tenaga kerja Cina tumbuh pesat di Sumatera Timur, yaitu yang pada tahun 1888 mampu mendatangkan 1.152 pekerja, pada tahun 1889 menjadi 5.167 pekerja dan pada tahun 1890 menjadi 6.666 pekerja.[11]

pekerja perkebunan tembakau di deli
sumber :kitlv.nl

Tabel 3
Kedatangan dan Keberangkatan Kuli Cina di Sumatera Timur, Tahun 1888-1900 (lewat Kantor Imigrasi)
Tahun
Kedatangan
Jumlah
Berangkat
Cina
Strait Settlements
1888
1889
1890
1891
1892
1893
1894
1895
1895
1897
1898
1899
1900

1.152
5.176
6.666
5.351
2.160
5.152
5.607
8.163
666
4.435
5.105
7.561
6.922

2.820
3.494
2.462
1.511
109
730
857
2.142
559
1.384
1.424
331
4

3.972
8.670
9.128
6.862
2.269
5.882
6.464
10.305
7.220
5.819
6.529
7.892
6.926

586
1.562
1.476
1.127
693
964
1.350
2.140
2.043
1.910
1.635
1.948
1.835

Jumlah
70.111
17.827
87.938
19.269

Besarnya pengeluaran perusahaan untuk mendatangkan tenaga kerja dari Cina tentu tidak ingin merugi jika pekerjanya tersebut kabur sebelum bekerja dengan waktu yang disepakati, maka para pekrja tersebut diikat dalam sebuat sistem kontrak. Pada tahun 1888 Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan pertama mengenai persyaratan hubungan kuli kontrak di Sumatera Timur yang disebut Koeli Ordonnantie. Koeli Ordonnantie tersebut memberikan jaminan pada perusahaan terhadap kemungkinan pekerja-pekerja melarikan diri sebelum masa kontrak habis serta sebagai bentuk jaminan perlindungan para pekerja terhadap perusahaan tindakan sewenang-wenang. Peraturan mengenai buruh tersebut dilengkapi dengan aturan hukum Poenalie Sanctie, yaitu apabila pekerja-pekerja perkebunan melarikan diri dapat ditangkap oleh polisi dan dibawa ke perkebunan dengan kekerasan jika melakukan perlawanan. Hukuman lainnya dapat berupa kerja paksa tanpa bayaran ataupun perpanjangan masa kerja melebihi ketentuan dalam kontrak kerja.[12]
Tidak hanya sebatas pada tenaga kerja/kuli Cina yang diperkerjakan karena mereka pekerja yang efisien dan hemat, perusahaan-perusahaan perkebunan juga menggunakan tenaga kerja dari Pulau Jawa. Penduduk Jawa dipilih karena mereka rajin, tahan bekerja serta memiliki kemampuan dalam bidang pertanian sehingga mampu menyesuaikan diri. Pada awalnya pemerintah Hindia Belanda melarang adanya penduduk Jawa yang bekerja di perkebunan Sumatera Timur, namun karena Pulau Jawa semakin sempit maka dilakukan transmigrasi, selain itu banyak yang ingin menghindari pajak kepala yang diterapkan oleh pemerintah.
Tabel 4
Jumlah kuli Cina dan Jawa di Sumatera Timur tahun 1883-1930
Tahun
Cina
Jawa
Jumlah
1883
21.136
1.1711
22.874
1893
41.700
18.000
59.700
1898
50.846
22.256
73.102
1906
53.105
33.802
86.907
1913
53617
118.517
172.134
1920
27.715
209.459
237.174
1930
26.037
234.554
206.591
Sumber : Thee Kian Wie, Plantation Agricultural and Export Growth an Economic History of East Sumatera, 1863-1942, hlm, 39
Tenaga kerja dari Jawa yang didatangkan tidak hanya laki-laki tapi juga perempuan. Para perempuan ini berkeja untuk mencari ulat tembakau, menggaru tanah, menyortir, memilah, menggantungkan dan mengikat daun-daun tembakau.

Dengan adanya tenaga kerja perkebunan dari luar Sumatera Timur dan berbagai masyarakat yang masuk ke Sumatera Timur dengan berbagai kepentingan mengakibatkan jumlah penduduk di Sumatera Timur semakin meningkat. Pada tahun 1880 jumlah penduduk Sumatera Timur berjumlah 118.755, naik menjadi 420.928 orang (naik 88%) pada tahun 1900. Pada tahun 1905 penduduknya berjumlah 568.417 orang (naik 35%). Demikian pula tahun 1915 penduduknya berjumlah 833.320 orang (naik 47%).


KESIMPULAN

Perluasan ekspansi wilayah oleh pemerintah Belanda terhadap pulau-pulau di luar Jawa memberikan dampak yang mampu mengubah tatanan wilayah tersebut, salah satunya bidang ekonomi. Sumatera, salah satu pulau yang masih memiliki banyak lahan ‘kosong’ dan memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi perkebunan tidak lepas dari sorotan kolonial. Akan tetapi ekplotasi yang benar-benar optimal adalah ketika dibukanya Hindia Belanda untuk modal swasta sehingga perkebunan-perkebunan besar bermunculan, terutama perkebunan tembakau di wilayah Sumatera Timur yang menjamur pasca tahun 1870 karena Jacob Nienhuis memperkenalkan tembakau Deli ke Eropa pada tahun 1865 dengan kualitas tembakau yang tinggi serta keuntungan yang besar.
Dengan Undang-Undang Agraria yang ditetapkan oleh Pemerintah Hindia Belanda, para pengusaha swasta yang menanamkan modalnya tersebut diperbolehkan menyewa lahan untuk perkebunan mereka. Hal tersebut tidak cukup sulit karena raja-raja setempat memberikan hak sewa lahan dengan jangka waktu yang lama. Untuk mengelola perkebunan-perkebunan tersebut digunakan kuli-kuli dari luar Sumatera Timur, yaitu kuli Cina, baik yang berasal dari Cina sendiri maupun dari Penang dan Singapura, serta tenaga kerja dari Jawa. Kuli-kuli yang masuk tersebut dikontrakan dengan suatu kontrak yang disebut Koeli Ordonantie. Di perkebunan tembakau tidak hanya kuli laki-laki yang diperkerjakan, tetapi juga wanita, bahkan anak-anak. Dengan masuknya tenaga kerja dari luar Sumatera Timur, otomatis jumlah penduduk Sumatera Timur bertambah dengan berbagai ras dan etnik.
Perkebunan-perkebuna tembakau tersebut mengalami titik nadir kegemilangannya pada tahun 1891 ketika jumlah produksi lebih tinggi dibandingkan permintaan pasar sehingga harganya jatuh sampai 50%. Akibat kejadian tersebut banyak perusahaan yang menutup perkebunannya, sedangkan yang lainnya berubah orientasi dengan menanam komoditi lain yang dapat setara dengan keuntungan tembakau, yaitu karet.


Daftar Pustaka

Brown, Ian. 1997. Economic Change in South-East Asia, c. 1830-1980. Oxford University Press : Kuala Lumpur.
Geertz, Clifford.1976. Involusi Pertanian Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. Bhratara K.A : Jakarta.
Pelzer, Karl J. 1978. Planter and Peasant Colonial Policy and the Agrarian Struggle in East Sumatera 1863-1947. The Hague : Netherland.
Reid, Anthony. 2010. Soematera Tempo Doeloe Dari Marco Polo sampai Tan Malaka. Komunitas Bamboe : Jakarta.
Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia. 2010. SNI Jilid IV : Kemunculan Penjajahan di Indonesia. Balai Pustaka: Jakarta.
Wie, Thee Kian. Plantation Agricultural and Export Growth an Economic History of East Sumatera, 1863-1942. LEKNAS-LIPI : Jakarta.
Yasmis. 2007. Kuli Kontrak di Perkebunan Tembakau Deli-Sumatera Timur Tahun 1880-1915.Tesis di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.




[1] Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia, 2010, SNI Jilid IV : Kemunculan Penjajahan di Indonesia, Balai Pustaka: Jakarta, hal. 387-388
[2] Yasmis. 2007. Kuli Kontrak di Perkebunan Tembakau Deli-Sumatera Timur Tahun 1880-1915, Tesis di FIB UI, hal.18
[3] Anthony Reid,2010, Soematera Tempo Doeloe Dari Marco Polo sampai Tan Malaka, Komunitas Bamboe : Jakarta, hal. 300
[4][4] Tanggal 1 Januari 1823 Sekretaris Gubernur Perusahaan Hindia Timur Inggris di Penang, menugaskan Jhon Anderson untuk mensurvei Pantai Timur Tamiang di Utara sampai ke Jambi di Selatan. Laporan Anderson mencakup uraian tentang perjalanan dan gambaran Pantai Sumatera Timur yang dituangkan dalam bukunya, Mission to the Eastcoast of Sumatra.
[5] Mereka menaburkan bibit di persemaian kecil, kemudian mencabut dan menanamnya kembali sesudah dua puluh hari dalam deretan kira-kira 2 (dua) kubit (45,72 cm). Dalam waktu 4 (empat) bulan tembakau siap dipanen. Pada saat berusia 2 (dua) bulan pucuknya dipotong agar daun-daunnya bertambah lebar. Apabila tanaman itu telah mempunyai tujuh helai daun, para penanam mulai memanen daun-daun tembakau tersebut. Tanda tembakau siap dipanen adalah daunnya mulai layu dan berwarna kecoklat-coklatan. Daun-daun tembakau dibiarkan disinari matahari selama empat hari kemudian dimasukan ke dalam keranjang-keranjang kecil dan siap untuk dipasarkan.
[6] Karl J. Pelzer, 1978, Planter and Peasant : Colonial Policy and the Agrarian Struggle in East Sumatera 1863-1947,The Hague : Netherlands, hal. 33
[7] Bau adalah ukuran luas tanah, 1 bau sama dengan 7,0965 meter persegi atau 0,79 ha.
[8] Karlz J. Pelzer, Ibid. hal 34
[9] Tim Nasional Penulisan Sejarah indonesia, Op.Cit,  hal 391
[10] Karl J. Pelzer, , hal 52
[11] Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia, Op. Cit.  hal394
[12] Ibid.  hal 395
[13] Yasmis. hal. 51