ilustrasi dari kebijakan doktrin Monroe
sumber : internet (kalo ga valid so sorry,,hehe)
Perang dunia
kedua yang dimulai pada tahun 1939 hingga berakhir pada tahun 1945 memunculkan
peran besar Amerika dalam kancah internasional. Amerika menjadi pemenang perang
dunia kedua dan menjadi satu-satunya kekuatan besar di dunia pasca berakhirnya
perang dingin tahun 1991 sehingga tidak heran apabila hegemoni negara tersebut
terhadap negara-negara lain begitu mencengkram bahkan Amerika sibuk terlibat
dalam berbagai urusan negara lain. Namun, sebelum menjadi negara adidaya dan
terlibat dalam mencampuri urusan negara lain seperti saat ini, Amerika pernah
menjalani politik isolasi dari negara-negara luar yang menyatakan bahwa negara
tersebut tidak ikut campur urusan negara lain dan tidak ingin pula urusannya
dicampuri oleh negara lain. Hal tersebut terjadi salah satu faktornya adalah karena
munculnya Doktrin Monroe tahun 1823.
Doktrin
Monroe merupakan suatu pernyataan yang dilontarkan oleh Presiden Amerika ke-5
(1817-1825), James Monroe, dalam pidato tahunannya di depan Kongres. Isi pidato
dari Monroe ialah mengenai penolakan Amerika terhadap negara-negara Eropa dalam
melakukan perluasan wilayah dan dominasi di benua Amerika. Doktrin Monroe ini dilatarbelakangi
oleh gejolak revolusi di negeri-negeri Amerika Tengah dan Amerika Selatan yang
ingin memerdekakan diri dari cengkraman bangsa Eropa, dan atas desakan publik Amerika,
Amerikapun mengakui kemerdekaan negara-negara Latin. Secara implisit, Doktrin
Monroe menyatakan bahwa America for the Americans sehingga sejak
bergulirnya doktrin tersebut, Amerika fokus membangun negerinya dan bersifat netral terhadap urusan yang terjadi di
Benua Eropa. Hal tersebut memperlihatkan dijalankannya politik isolasi Amerika
terhadap dunia luar dan dengan demikian menjadikannya sebagai politik luar
negeri Amerika.
Politik
isolasi yang dimaksud tentu bukan menutup diri dari setiap hubungan
internasional dengan negara-negara lain, isolasi yang dijalankan oleh Amerika adalah sebuah kenetralan akan masalah
yang dihadapi oleh negara-negara Eropa yang sedang berkonflik serta
tidak memihak blok manapun, baik Aliansi Suci maupun Sekutu. Kebijakan tersebut
selain mengacu pada doktrin Monroe juga mengacu pada ucapan Washington dalam
pidato perpisahannya pada tanggal 17 September 1796 yang menguraikan
dasar-dasar politik luar negeri Amerika dengan pengertian tidak mengajukan
pendapat dalam masalah Eropa. [1]
Ketika bayang-bayang
perang dunia pertama muncul di hadapan Amerika, Doktrin Monroe dan politik
isolasi tersebut tentu tidak dapat pula dipertahankan selamanya. Kedaulatan Amerika
mulai mengalami ancaman serius sebagai dampak dari perang tersebut sehingga diperlukan
tindakan untuk mengatasinya. Di tahun 1917 Amerika
serikat bergabung dengan Perancis dan Inggris untuk melawan Jerman yang
mengancam kemerdekaan kedua negara tersebut. Masih di bawah sikap mempertahankan kenetralan, Amerika masuk dalam
perang dunia pertama hanya sebatas
“penengah”, meskipun hal tersebut menyalahi doktrin Monroe. Perang yang
dimaksudkan oleh Amerika tentu sebagai bentuk menjaga demokrasi tetap berjalan,
dunia aman dan damai serta sebagai bentuk penghentian perang (war end war).
Dengan
demikian, Doktrin Monroe yang dilontarkan tahun 1823 mengalami perubahan orientasi
yang disesuaikan dengan situasi yang dihadapi oleh Amerika dan juga masyarakatnya.
Pengaruh Doktrin Monroe terhadap Politik Isolasi Amerika
Amerika Serikat (The
United States Of America) mendeklarasikan kemerdekaannya dari Inggris pada tanggal
4 Juli 1776 setelah melalui serangkain perang dan perjuangan. Pengalamannya
sebagai daerah koloni dari bangsa Eropa yang pindah ke benua baru untuk
kehidupan yang lebih baik, baik dari segi politik, ekonomi, sosial budaya dan
juga kehidupan beragama, menjadikan negara ini menjunjung tinggi nilai liberalisme
dan demokrasi sebagai dasar negara. Sebagai negara yang menjungjung tinggi
demokrasi dan libelarisme, Amerika juga harus menghormati hak merdeka bangsa
lain yang juga ingin lepas dari kungkungan bangsa Eropa. Doktrin Monroe menjadi
salah satu jawaban dari bentuk demokrasi Amerika terhadap dunia internasional
pada saat itu.
Doktrin tersebut muncul dilatarbelakangi oleh gerakan
revolusi dari Amerika tengah dan selatan pada dekade awal abad ke-19. Ketika para koloni Inggris mendapatkan
kebebasannya dan menjadi negara merdeka seutuhnya, gagasan tersebut juga
memberikan pengaruh pada rakyat Amerika Latin. Penaklukan Napoleon atas Spanyol
dan Portugal pada 1808 menjadi pertanda bagi rakyat Amerika Latin untuk
mengadakan pemberontakan. Menjelang 1822, dipimpin dengan cakap oleh Simon
Bolivar, Francisco Miranda, Jose de San Martin dan Miguel de Hidalgo, sebagian
besar Amerika Hispanik–dari Argentina dan Chili di selatan hingga Meksiko di
utara–memenangkan kemerdekaan mereka. Rakyat Amerika Serikat melihatnya sebagai
sebuah pengulangan pengalaman mereka sendiri dalam memisahkan diri dari bawah
kekuasaan Eropa. Gerakan kemerdekaan Amerika Latin mempertegas keyakinan rakyat
Amerika terhadap pemerintahan otonomi. Maka, dengan tekanan dari publik,
Presiden James Monroe pada 1822 menerima wewenang untuk mengakui negara Amerika
Latin baru dan menegaskan status mereka sebagai negara merdeka yang
sesungguhnya, sepenuhnya terpisah dari ikatan lama mereka dengan Eropa,
layaknya negara Amerika Serikat.[2].
James Monroe dalam pidato tahunannya di depan
Kongres pada tanggal 2 Desember 1823 menyampaikan apa yang kemudian dikenal
sebagai doktrin Monroe- suatu penolakan toleransi terhadap dominasi lebih
lanjut Eropa di benua Amerika. Pernyataan James Monroe mengekspresikan akan dua
keadaan khusus yang terjadi pada saat itu. Pertama, dia takut akan rencana
Rusia untuk mendirikan koloni di pantai barat. Kedua dia takut akan rencana
bangsa-bangsa Eropa untuk mengembalikan koloni-koloni Spanyol di Amerika Latin yang
memberontak dan menyatakan kemerdekaannya. Tentu saja Amerika menentang hal
tersebut.[3]
Amerika sangat khawatir karena Amerika Latin telah menjadi mitra perdagangan
yang sangat penting pada saat itu.
Doktin Monroe
merupakan manifestasi politik status quo yang mempunyai arti penting
bagi Amerika Serikat dan merupakan landasan hubungan luar negerinya. Deklarasi
unilateral oleh presiden James Monroe menetapkan dua prinsip doktrin. Pertama
doktrin tersebut menetapkan agar Amerika serikat menghormati pembagian
kekuasaan yang sudah ada di dunia belahan barat. “Dengan koloni yang sudah ada
atau ketergantungan terhadap kekuatan Eropa mana pun, kami tidak pernah campur
tangan dan takkan pernah campur tangan”. Kedua, doktrin tersebut menyatakan
perlawanan Amerika serikat terhadap perubahan apa pun atas pembagian kekuasaan yang ada oleh suatu
negara non-Amerika : “Tetapi dengan pemerintah yang telah menyatakan
kemerdekaannya dan mempertahankan kemerdekaan itu, juga kemerdekaan yang telah
kita... akui, kita tidak dapat membiarkan tindakan campur tangan apa pun yang
bertujuan menekan mereka, atau mengendalikan nasib mereka dengan cara apa pun,
oleh kekuatan Eropa mana pun dengan anggapan selain manifestasi disposisi tidak
ramah terhadap Amerika Serikat.”[4]
Dengan
demikian, Amerika secara jelas menolak setiap bentuk intervensi asing terhadap
negaranya dan juga negara di benua Amerika, dan sebagai “balasannya” Amerika
tidak turut campur dalam urusan negara-negara Eropa serta memilih untuk
bersifat netral terhadap konflik yang berlangsung di benua Eropa.
Ketidak ikut campuran Amerika dalam percaturan
konflik Eropa membuatnya fokus dalam membangun negara sehingga pada saat
tersebut mulailah tumbuh benih-benih politik isolasi dalam masyarakat Amerika. Isolasi
yang dijalankan oleh Amerika adalah sebuah bentuk ketidakberpihakan Amerika
terhadap blok manapun di Eropa dan lebih memilih bersikap netral.
Apabila merujuk pada
ucapan Geoge Washington dalam pidato perpisahannya di depan Kongres, adalah
bahaya dan tidak ada manfaatnya bagi Amerika untuk berpihak pada blok-blok yang
sedang bertikai di Eropa “bagi Eropa ada sejumlah kepentingan mendasar yang
tidak ada kaitannya dengan kita atau hubungan kita dengannya jauh karena itu
mengharuskan Eropa untuk terjun dalam konflik yang terus-menerus yang sebabnya
asing bagi kita dan juga kepentingan kita” selain itu diutarakan pula oleh
Washington bahwa tidak bijak jika “ kami melibatkan diri dengan ikatan-ikatan
semu dalam pergolakan politik dan kelompoknya serta konflik permusuhan dan persahabatannya.
Sesungguhnya posisi kita yang jauh dan terpisah darinya mengajak kita untuk,
bahkan dapat mengikuti jalan lain…. Mengapa kita harus meninggalkan
keistimewaan posisi yang unik ini? kenapa kita meninggalkan tanah kita untuk
berdiri di tanah yang asing dengan kita? Kenapa kita harus mengikatkan nasib
kita dengan nasib eropa sementara kita melibatkan bangsa kita dengan
ambisi-ambisi negara eropa dan menyaingi dalam kepentingan langkah-langkahnya?” [5]
Ucapan Washington tersebut dapat menggambarkan rasa
nasionalisme untuk melawan penjajah (bangsa Eropa) telah muncul pascaperang
kemerdekaan. Nasionalisme di Amerika tersebut membentuk isolasi politik dan
ideologi antara Amerika dan Eropa. Meskipun tidak secara langsung Washington
mendoktrin untuk melakukan isolasi dan pemutusan hubungan dengan Eropa, tetapi
ketika Monroe menyatakan doktrinnya, hal tersebut layaknya sebuah dorongan lain
bagi masyarakat Amerika untuk benar-benar menutup diri dari konflik-konflik
Eropa dan fokus terhadap pembangunan negara sendiri.
Dengan doktrin Monroe, paham demokrasi dan sistem
ekonomi yang dianutpun turut mendorong politik isolasi dilaksanakan oleh masyarakat
Amerika. Untuk membangun ekonomi, Amerika mengadopsi kapitalisme dan
liberalisme perdagangan dari revolusi industri. Hal tersebut mendorong masyarakat
Amerika berorientasi pada ekonomi dan materialisme, sedangkan politik bukan
sesuatu yang penting bagi mereka. Dengan berfokus pada ekonomi masyarakat Amerika
mendapati dirinya dalam damai dan kemakmuran sedangkan negara-negara Eropa
masih sibuk dalam konflik dan peperangan. Titik tolak tersebut menciptakan satu
falsafah bagi Amerika yang melandasi politik isolasi; bahwa Amerika harus
memutus hubungan dengan Eropa karena dengan adanya isolasi dari Eropa, Amerika
dapat menjaga kejernihan demokrasinya dan terfokus pada politik dalam negeri
dengan mengembangkan kekakayaan dan menjaga kebebasan.[6]
2 Perang Dunia Pertama sebagai bentuk penyimpangan
Doktrin Monroe
Bergolaknya konflik negara-negara Eropa
berakhir dengan munculnya perang dunia pertama pada tahun 1914. Perang yang
hanya melibatkan negara-negara Eropa tersebut sering disebut sebagai perang
Eropa, tetapi dampak dari perang tersebut berpengaruh besar terhadap kehidupan
masyarakat Amerika dan juga politik luar negerinya. Sejak 1914, Amerika mulai menjadi sebuah
kekuatan dunia, mendapatkan hubungan jauh dengan koloni, menjadi sebuah elemen
dalam keseimbangan kekuatan Eropa, dan
kebijakan luar negerinya berubah dari kebenuaan dan keisolasian ke dalam
sebuah bidang yang lebih besar.[7]
Bagi
masyarakyat Amerika yang hidup pada 1914, pecahnya perang di Eropa—Jerman dan
Austria- Hongaria melawan Inggris, Perancis, dan Rusia—membuat mereka
tersentak. Awalnya pertempuran itu seakan terasa sangat jauh, tapi dampak
ekonomi dan politiknya terasa dalam waktu singkat dan dengan parah. Selama
1915, industri Amerika, yang sedang mengalami masa depresi ringan, mulai
membaik karena adanya permintaan peralatan perang dari Sekutu di Barat. Kedua
pihak yang berseteru menggunakan propaganda untuk menyulut semangat rakyat
Amerika—yang sepertiganya adalah warga negara asing atau lahir dari orangtua
berkewarganegaraan asing.[8]
Awalnya, bangsa Amerika masih memegang
teguh sikap netralnya terhadap negara-negara yang berkonflik, dengan masih di
bawah doktrin Monroe, keterlibatan Amerika dalam perang tersebut hanya sebatas
produsen dan penjual senjata untuk para negara yang berperang di Eropa, tidak
ambil bagian dari konflik secara langsung. Bangsa Amerika dimasa damai tidak memalingkan perhatiaannya pada
masalah luar negeri karena itu akan memalingkan manusia dari nilai materi
mereka serta membalikkan nilai-nilai sosialnya, kecuali dengan terpaksa.
Faktor yang mulai menggoyahkan
kenetralan masyarakat Amerika dalam mempertahankan doktrin Monroe adalah ketika
kapal-kapal Amerika dihadang, digeledah serta barang-barangnya diambil oleh
Inggris ataupun Jerman, hal yang dilakukan Amerika masih sebatas protes dan
peringatan. Kemudian, kapal sipil Inggris, Lusitania, pada 7 Mei 1915
ditenggelamkan oleh kapal selam Jerman sehingga menewaskan 1.198 orang, 128
orang di antaranya adalah orang Amerika. Hal itu tentu menimbulkan kemarahan
rakyat Amerika sehingga membuat Presiden Wilson mendesak agar penyerangan
terhadap angkutan laut dan kapal dagang Amerika segera dihentikan. Adanya
peringatan dari Amerika tersebut membuat Jerman untuk sementara waktu
menghentikan perang kapal selamnya, tetapi pada Agustus 1915, Jerman kembali
melakukan serangan untuk menenggelamkan kapal pesiar Inggris, Arabic, dan kapal
pesiar Perancis, Sussex, yang hancur terkena torpedo pada Maret 1916.
Hal tersebut tentu tidak dapat lagi
ditolerir oleh Amerika, ketika negara-negara yang berperang mulai mengancam dan
mengganggu hak hidup masyarakat Amerika, tentu bangsa Amerika tidak bisa
tinggal diam dan tidak mungkin
berpura-pura tidak mengetahuinya sehingga Amerika yang menjunjung
demokrasi dan kebebasan menuntut pertanggung jawaban dari akibat perang yang
berdampak pada Amerika. Amerika tidak dapat lagi hanya sekedar memberikan
peringatan, tentu harus ada ketegasan sikap dalam menghadapi Perang Dunia Pertama.
Maka, konsekuensi logis dari hal tersebut adalah penyimpangan terhadap dokrin
Monroe dan politik isolasi.
Presiden Wilson yang kembali terpilih
pada 1916, merasa mengemban tugas untuk bertindak sebagai pendamai, dia
berpidato di hadapan Senat Amerika, pada 22 Januari 1917, mendesak negara yang
sedang berperang untuk menerima “perdamaian tanpa kemenangan.” Namun pada 31
Januari 1917, pemerintah Jerman mulai menjalani perang terbuka di dasar laut
dan menyebabkan lima armada laut Amerika tenggelam. Maka tidak mungkin lagi
Amerika hanya memberikan ultimatum tanpa bertindak. Ketika provokasi dikobarkan, maka penggunaan sarana kekerasan seperti
perang digunakan untuk mencapai kedamaian dan kestabilan. Sementara serangan
militer Amerika hanya untuk membela demokrasi dan mengenyahkan musuh yang tidak
bermoral yang bisa mengancam demokrasi.[9]
Perang yang dilancarkan Amerika menurut pandangan
bangsa Amerika bukanlah suatu bentuk politik kekuasaaan seperti yang dilakukan
oleh negara-negara Eropa yang yang didorong oleh konflik antarkelas.
Keterlibatan Amerika dalam kancah perang dunia adalah untuk mengembalikan
perimbangan di Eropa, di mana penguasaan satu negara terhadapnya akan mengecam
keamanan Amerika itu sendiri. Adapun intervensi menurut cara pandang bangsa
Amerika adalah dalam rangka menghapuskan kediktatoran dan mengembalikan
demokrasi.[10]
Dengan
pandangan tersebut, maka Amerika mulai merealisasikan untuk masuk kancah perang
dan bergabung dalam blok sekutu. Pada tanggal 2 April 1917 Presiden Wilson mendapat
persetujuan untuk mendeklarasikan perang dari Kongres. Pemerintah bergerak
cepat dalam mengerahkan sumber daya militer, industri, tenaga dan hasil
pertanian untuk persiapan perang. Selama Oktober 1918, pada malam sebelum
kemenangan pihak Sekutu, lebih dari 1.750.000 tentara Amerika telah tersebar di
Perancis. Pada musim panas 1918, tentara Amerika yang baru tiba di bawah
pimpinan Jendral J. Pershing memainkan peranan penting dalam menghentikan
serangan terakhir dari Jerman. Pada musim gugur tahun itu, tentara Amerika
merupakan tokoh kunci dalam serangan di Meuse-Argonne, yang berhasil menembus
Garis Hindenburg Jerman. Presiden Wilson berkontribusi besar dalam mengakhiri
perang secara lebih cepat dengan mendefinisikan tujuan perang Amerika yang
menyatakan perjuangan ini bukan untuk memerangi rakyat Jerman melainkan
terhadap pemerintahan otoriter mereka.[11]
Meskipun
masuknya perang Amerika dalam perang dunia pertama menyimpang dari doktrin
Monroe, tapi Amerika berupaya supaya bentuk akhir dari perang ialah suatu
perasaaan untuk menjaga perdamaian diantara negara-negara Eropa. pasca
berakhirnya perang tahun 1918, presiden Wilson mengajukan suatu keputusan pada
Senat yang disebut dengan Empat Belas Poin, yang salah satu isinya adalah pendirian
liga bangsa-bangsa untuk mengikat perdamaian antar negara yang berperang. Namun
negara-negara yang berkonflik tersebut, khususnya blok Sekutu yang menang
perang dunia pertama, mengeluarkan perjanjian Versailles yang salah satu isinya
adalah membebankan tanggungan pampasan perang yang sangat berat terhadap Jerman.
Pendirian Liga bangsa-bangsa yang
digagas oleh presiden Wilson ini mendapat opposisi dari senator Republik di Senat,
Borah dan Lodge. Presiden Wilson gagal melibatkan tokoh terkemuka partai Republik
dalam negosiasi perjanjian perdamaian. Ia kembali dengan dokumentasi setengah
jadi, dan menolak mengadakan konsesi yang diperlukan guna melenyapkan
kekhawatiran partai Republik tentang perlindungan terhadap kedaulatan Amerika.
Dalam dua kali pengambilan suara—pada November 1919 dan Maret 1920— Senat
kembali menolak Traktat Versailles dan juga menolak Liga Bangsa-bangsa. Penolakan
Senat terhadap Traktat Versailles dan Liga Bangsa-bangsa serta kekalahan Wilson
menunjukkan rakyat Amerika belum siap berperan sebagai pemimpin di tingkat
dunia. Visi Wilson yang terlampau muluk sempat menginspirasi bangsa Amerika
dalam waktu singkat, namun ketika terbentur dengan kenyataan, visi tersebut
dengan cepat menimbulkan kekecewaan luas terhadap masalah dunia. Secara
naluriah Amerika kembali menganut isolasionisme.[12]
KESIMPULAN
Doktrin Monroe yang diucapkan oleh Presiden Amerika
ke-5, James Monroe, pada tanggal 2 Desember 1823 di hadapan Kongres mendapat
sambutan baik dari masyarakat Amerika untuk bersikap netral dan tidak ikut
campur dalam konflik negara-negara Eropa karena dalam menjalankan politik luar negerinya,
Amerika menjunjung demokrasi dan kebebasan. Munculnya Doktrin
Monroe mampu memberikan pengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat Amerika
Serikat pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Berkorelasi dengan hal
tersebut, Amerika menjalankan politik isolasi yang berlangsung di berbagai
bidang kehidupannya, baik di bidang ekonomi dan politik sehingga kehidupan di
amerika dapat dikatakan damai, karena masyarakat tidak terganggu urusan politik
luar negeri negara lain dan fokus membangun negerinya.
Pecahnya perang dunia pertama di Eropa tahun 1914
turut menyeret Amerika untuk turun langsung mengatasi perang. Hal tersebut
merupakan penyimpangan dari Doktrin Monroe yang salah satu isinya menyatakan
bahwa Amerika tidak terlibat dalam urusan konflik negara-negara Eropa. namun, Presiden
Wilson, sebagai presiden yang menjabat pada masa itu tidak bisa tinggal diam
ketika Amerika dan masyarkatnya mulai terancam kedaulatannya karena perang
tersebut, terutama oleh Jerman dengan perang kapal selamnya. Maka pada tahun
1917, Presdien Wilson yang mendapatkan persetujuan dari Kongres menyatakan terlibat
perang dan ikut dalam blok Sekutu. Tujuan masuknya Amerika dalam perang dunia
satu adalah sebagai bentuk menjaga perdamaian dan keamanan berdirinya
demokrasi.
Cepat berakhirnya perang dunia pertama pada tahun
1918 salah satunya adalah karena jasa Presiden Wilson, sehingga sebagai bentuk
menjaga perdamaian, dia mengajukan pembentukan Liga Bangsa-Bangsa dengan
Amerika sebagai pemimpinnya. Akan tetapi, terjadi penolakan oleh Senat Amerika Serikat
terhadap keterlibatan Amerika dalam liga yang dikhususkan untuk penyelesaian
perdamaian negara-negara Eropa sehingga secara naluriah, Amerika kembali menganut
politik isolasi.
Daftar Pustaka
Biro Program Informasi
Internasional. 2005. Garis Besar Sejarah Amerika.
Departemen Luar Negeri Amerika Serikat.
Cipto,
Bambang. 2007. Amerika. Lingkaran Buku : Yogyakarta.
Dukes, Paul. 2000. The
Superpowers : A Short History. Routledge: New York.
Donova, Frank. 1963. Mr. Monroe’s Message : The Story of the
Monroe Doctrin. Dood, Mead and Company
: New York.
Morgenthau, Hans. J. 2010. Politik Antarbangsa. Perpustakaan Nasional
: Jakarta.
Musa, Muhammad. 2003. Hegemoni Barat Terhadap Percaturan Politik
Dunia : Sebuah Potret Hubungan
Internasional. Wahyu Press : Jakarta.
Perkins, Dexter. 1944. America and Two Wars. Little, Brown and
Company : Boston.
Sumber Internet :
http://usa.usembassy.de (diakses pada hari kamis, 10
desember 2015. Pukul 15:35 WIB)
[1] Hans J. Morgenthau. Politik
Antarbangsa. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010), hlm. 23
[2] Biro
Program Informasi Internasional. Garis
Besar Sejarah Amerika. (Departemen Luar Negeri Amerika Serikat : 2005).
hlm. 125
[3] Frank Donova. Mr. Monroe’s
Message : The Story of the Monroe Doctrin. (New York : Dood, Mead and
Company, 1963). hlm. 4
[4] Hans J. Morgenthau. Op. Cit.
hlm. 60
[5] Muhammad Musa. Hegemoni Barat
Terhadap Pencaturan Politik Dunia: Sebuah Potret Hubungan Internasional.
(Jakarta: Wahyu Press, 2003), hlm. 122
[6] Muhammad Musa. Op. Cit. hlm.
129-130
[7] Dexter Perkins. America and
Two Wars. (Boston : Little, Brown and Company, 1944), hlm. 3
[9] Muhammad Musa. Op. Cit. hlm.
132
[10] Muhammad Musa. Op. Cit.
hlm. 131-132