LATAR BELAKANG
Pada
masa Orde Baru mulai memimpin tampuk pemerintahan Republik Indonesia, banyak
sekali pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dalam menunjang pemerintahan
yang teratur, terutama sekali dalam bidang kesehatan. Dengan program Pelita
(Pembangunan Lima Tahun) yang digagas oleh Pemerintah Soeharto, bidang
kesehatan mulai ditata sedemikan rupa supaya mampu menjangkau semua lapisan
masyarakat. Akan tetapi, pada masa Pelita I, yakni sejak 1 April 1969 sampai
dengan 1974, perkembangan kesehatan nasional masih sangat memprihatinkan.
Di
masyarakat, rata-rata 45 orang dari seribu penduduk menderita sakit. Anak-anak
berumur di bawah 1 bulan merupakan kelompok yang banyak menderita sakit,
disusul kelompok umur 1 bulan hingga 4 tahun. Penyebabnya terutama infeksi
sistem pernapasan (terutama TBC), infeksi kulit, diare, malaria, dan penyakit
mata. Selain itu, dari seribu bayi yang lahir hidup setiap tahun, 125 sampai
150 di antara mereka meninggal sebelum berumur satu tahun. Padahal, untuk
negara-negara yang telah mencapai tingkat kesehatan yang baik, jumlah kematian bayi
paling banyak dua puluhan dari setiap seribu bayi yang lahir. Tidak hanya itu,
pada masa akhir Pelita 1, masyarakat Indonesia juga mengalami gangguan
kesehatan yang lain, meliputi penyakit menular, kelainan-kelainan yang
disebabkan oleh kekurangan gizi, pencemaran lingkungan, masalah obat-obatan,
makanan dan kosmetika yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan.[1]
Memasuki
Pelita II, berbagai masalah dalam penyelenggaraan program-program kesehatan
dalam Pelita I tetap masih dijumpai. Masyarakat di beberapa wilayah Indonesia
belum mampu untuk menjangkau pelayanan kesehatan, khususnya masyarakat di pedesaan
yang jauh dari puskesmas, yang umumnya puskesmas-puskesmas tersebut kebanyakan
terletak di ibu kota kecamatan. Meskipun puskesmas tersebut ada di ibu kota kecamatan,
secara geografis, persebaran penduduk, terutama luar pulau Jawa, dipisahkan
oleh jarak yng cukup berjauhan dan diperburuk oleh keterbatasan infrastruktur
trasnportasi.
Tidak
hanya itu, penyebaran tenaga dokter dan tenaga paramedis yang tidak merata
antara satu daerah dan daerah lain menyebabkan masalah krusial karena kurangnya
tenaga kesehatan, terutama di wilayah terpencil, serta program-program bersifat
pencegahan atau preventif di desa-desa belum sepenuhnya terintegrasi dan kurang
koordinasi dengan pelayanan kuratif rumah sakit, sementara pengelolaan di rumah
sakit masih membutuhkan penyempurnaan.
INPRES NO. 5 TAHUN 1975 DAN
PEMBANGUNAN SARANA KESEHATAN
Memasuki
Pelita II, bidang kesejahteraan sosial yang meliputi kesehatan mendapat
perhatian yang cukup tinggi dibanding pada Pelita I yang lebih berorientasi
pada ekonomi. Perhatian yang diberikan oleh pemerintah adalah melalui suatu
Intruksi Presiden (INPRES). INPRES merupakan suatu kebijakan dalam memberikan
bantuan pembangunan kabupaten / kotamadya yang didasarkan
pada jumlah penduduk.[2] Program ini
juga ditujukan untuk memperbaiki kondisi lingkungan hidup penduduk di desa-desa
ataupun penduduk yang miskin di kota – kota melalui berbagi proyek, seperti proyek
perbaikan kampung. Dalam bidang kesehatan, pemerintah
mengeluarkan Intruksi Presiden No. 5 tahun 1974 tentang Bantuan Pembangunan
Sarana Kesehatan yang kemudian ditindak lanjuti dengan keluarnya Intruksi
Presiden no. 7 tahun 1975 dengan pembahasan masih dalam hal yang sama.
Pembangunan
kesehatan dalam Pelita II terutama diarahkan untuk mencapai ketersediaan sarana
dan tenaga pelayanan kesehatan yang memenuhi kebutuhan masyarakat, mengurangi
jumlah penderita penyakit dan menekan kemunculan wabah penyakit, meningkatkan
perbaikan gizi, menyediakan sarana sanitasi dan pengembangan kesadaran
masyarakat untuk hidup sehat dan menciptakan keluarga sejahtera.
Adapun hal pokok yang diintruksikan presiden lewat
INPRES No. 5 tahun 1974 mencakup tiga hal, yaitu pembangunan gedung Pusat
Kesehatan Masyarakat (Puskesmas), Sarana
Penyediaan Air Minum Pedesaan, dan pembangunan Jamban Keluarga. Ketiga hal
pokok ini bertujuan untuk melaksanaan pemerataan pelayanan kesehatan, serta
sebagai salah satu langkah kongkrit untuk meningkatkan pelayanan kesehatan
kepada masyarakat yang berpenghasilan rendah, baik di desa maupun di kota.
1.
Puskesmas
Sebagaimana
yang ditetapkan dalam Rapat Kerja Kesehatan Nasional pada tahun 1968, Puskesmas
merupakan suatu unit pelayanan kesehatan yang memberikan pelayanan keshatan
kuratif dan preventif secara terpadu, menyeluruh dan mudah dijangkau, dalam
suatu wilayah kecamatan atau sebagian kecamatan di kabupaten atau kotamadya.
Kegiatan yang dilakukan oleh puskesmas meliputi perawatan medis, kesehatan ibu
dan anak, keluarga berencana, pemberantasan penyakit menular, kesehatan
lingkungan dan sanitasi, gizi, pendidikan kesehatan, kesehatan gigi, kesehatan
sekolah, pelayanan laboratorium, kesehatan jiwa, dan perawatan masyarakat serta
pencatatan –pelaporan.[3]
Pemerintah
dalam menunjang fungsi puskesmas bagi keberlangsungan kesehatan masyarakat
mencanangkan untuk membangun setidaknya satu puskesmas untuk setiap kecamatan
karena tujuan pemerintah adalah untuk memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh
dan sedekat mungkin dengan masyarakat. Penyebaran puskesmas untuk tiap-tiap kabupaten didasarkan
pada ketentuan-ketentuan sebagai berikut : setiap daerah tingkat II memperoleh
sekurang-kurangnya sebuah Puskesmas, sedangkan penyebaran puskesmas akan
diperbaiki didasarkan pada jumlah puskesmas yang ada baik di propinsi maupun
kabupaten.
Untuk
menunjang berdirinya suatu puskesmas yang “ideal", maka pemerintah
memberikan bantuan pembangunan puskesmas, diantaranya meliputi :
•
Gedung puskesmas
•
Tiga buah rumah staf puskesmas
•
Alat medis dan non medis sederhana
•
Obat-obatan
•
Biaya operasional petugas lapangan
Untuk
memperlancar proses pembangunan puskesmas, pemerintah pusat hanya menyediakan
dana bantuan yang akan diberikan pada pemerintah daerah sebagai penaggung jawab
pelaksana pembangunan di wilayah setempat dengan beberapa ketentuan, salah
satunya tanggun jawab untuk menyediakan lahan atau tanah kosong.[4]
Tidak hanya di wilayah terpencil atau jauh dari ibu kota, bantuan Puskesmas
juga terjadi di Jakarta.
“ Jakarta untuk
tahun 75-76 di wilayah Jakarta Pusat telah tersedia lokasi-lokasi tanah untuk
puskesmas-puskesmas yang dibangun dalam kegiatan realisasi proyek pelita masing-masing
di kelurahan Harapan Mulya, Gelora Senayan, dan Rawasari. Puskesmas yang dibangun atas Inpres menurut pihak Walikota
Jakarta Pusat kemarin arealnya ditetapkan di Mangga Dua Selatan. Sedang 3 buah
unit bangunan puskesmas proyek Inpres 74 75 yang telah selesai dibangun dan
siap dipakai adalah puskesmas di Kelurahan Petamburan, Pegangasaan, Petojo Utara,
dan di Kelurahan Johar Baru.”[5]
Selama Pelita II (1974-1979), pengembangan jumlah
Puskesmas meningkat dari 2.343 pada akhir pelita I (1973/1974) menjadi 4.353
pada akhir pelita II. Ada 3.270 kecamatan di Indonesia yang telah memiliki
setidaknya satu puskesmas. Bahkan proporsi dokter yang bekerja di Puskesmas
meningkat dari 34% di akhir Pelita I sampai 89,5 % di akhir Pelita II. Hal
tersebut dimungkinkan karena adanya penempatan pada 2.700 dokter untuk
Puskesmas.[6]
- Samijaga (Sarana Air Minum dan Jamban Keluarga)
Untuk menunjang
perbaikan lingkungan permukiman desa, usaha sanitasi dan penyediaan air minum
di daerah pedesaaan di titik beratkan pada usaha penyuluhan dan pemberian
bantuan teknis dalam pemanfaatan sumber-sumber air yang terdapat di daerah pedesaan
untuk kepentingan kesehatan. Peningkatan sarana penyediaan air bersih di
perdesaan diprioritaskan pada daerah-daerah yang sulit memperoleh air bersih,
tempat angka kesakitan penyakit wabah kolera, dan penyakit-penyakit perut
lainnya. Kolera sendiri merupakan penyakit yang menyebar lewat air yang
terdehidrasi sehingga penyebaran sarana air minum dan jamban keluarga dititikberatkan pada
pencegahan terjadinya penyakit kolera dan penyakit perut lainnya.
Kebutuhan
fasilitas air minum untuk lingkungan perumahan di daerah pedesaan dilakukan
melalui bantuan Pemerintah dengan beberapa pembangunan :
- Penampungan mata air dengan perpipaannya
- Penampungan air hujan
- Perlindungan mata air
- Sumur artesis
- Sumur dengan pompa tangan
- Bantuan jamban keluarga
Dalam
Pelita II dilaksanakan pemasangan 1.200 instalasi air minum perpipaan di
perdesaan dan pemasangan 20.000 sumur pompa di Jawa Barat, Jawa Tengah,
Yogyakarta, Jawa Timur, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Sulawesi Utara, Sulawaesi
Selatan, dan Bali. Sementara daerah-daerah lain dalam tahap persiapan untuk
pelaksanaaan penyediaan air minum perdesaan.[7]
Program sarana air bersih ini terutama sekali diprioritaskan di daerah letusan
di Indonesia, seperti di Nusa Tenggara Barat, Bali, Jawa Tengah, Jawa Barat,
Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan. Tidak hanya itu, pada tahun 1975/1976 di
seluruh kabupaten kotamadya di Propinsi Sulawesi Selatan direncanakan akan
dipasang 7000 pompa air, dan Indoensia mendapat kunjungan dari perwakilah WHO,
Dr. Brestein dan Mr Mechor, pada 8-10 Mei 1975 meninjau proyek menyangkut air
minum, sanitasi dan program pedesaan di Sumatera Barat.
Layaknya program Puskesmas, dalam melaksanakan
program Samijaga ini, pemerintah pusat hanya memberikan bantuan dana pokoknya
sehingga Pemerintah daerah dan masyarakat yang terlibat tetap memiliki
kewajiban lainnya untuk mensukseskan program Samijaga. Kewajiban yang harus disediakan oleh Pemerintah Daerah
dalam pembangunan sarana penyediaan air minum ialah terutama biaya pemasangan
perpipaan, sedangkan keluarga yang menerima
bantuan diharapakan partisipasinya untuk pembuatan rumah jamban dan lubang
jamban, karena bantuan yang disediakan hanya pembuatan slab (lantai jamban) dan bowl
(leher angsa).[8]
DAMPAK INTRUKSI PRESIDEN NO. 5
TAHUN 1974
Adanya
bantuan pemerintah terhadap pembangunan sarana kesehatan yang dilakukan dengan
Inpres membuahkan beberapa hasil yang sukses dalam meningkatkan pelayanan
kesehatan bagi seluruh masyarakat, terutama bagi masyarakat yang tinggal di
wilayah-wilayah terpencil ataupun wilayah luar pulau Jawa. Secara kuantitas,
jumlah Pusksemas meningkat secara signifikan, di mana selama Pelita II
(1974-1979), pengembangan jumlah Puskesmas meningkat dari 2.343 pada akhir
pelita I (1973/1974) menjadi 4.353 pada akhir pelita II. Ada 3.270 kecamatan di
Indonesia yang telah memiliki setidaknya satu puskesmas. Adanya peningkatan
Puskesmas juga mendorong pemberantasan penyakit menular diberbagai wilayah,
seperti upaya pemberantasan penyakit patek di daerah-daerah Jawa dan Bali,
pemberantasa penyakit zoonis (penyakit pada binatang yang dapat menjangkiti
manusia) yang diutamakan pada upaya pencegahan dan pengobatan kasus pes dan
rabies atau anjing gila.
Seiring
persebaran puskemas ke berbagai wilayah, berkorelasi juga dengan semakin
menyebarnya dokter-dokter dan tenaga medis ke berbagai wilayah di Indonesia. Pada
akhir Pelita I jumlah dokter di Indonesia sebanyak 6.221 orang, belum termasauk
krang lebih seribu dokter ABRI sehingga rata-rata satu dokter melayani 24.000
penduduk. Dari jumlah itu, hanya 12,9 persen yagn bekerja di puskesmas sehingga
baru 29 persen puskesmas di Jawa dan Bali yan gdipimpin oleh dokter. Dalam
Pelita II jumlah puskesmas yang dipimpin oleh dokter menngkat menjadi 50
persen, sednagkan di daerah-daerah di luar pulau Jawa dan Bali yang dalam
Pelita I baru 20 persen puskesmas dipimpin oleh dokter, dalam Pelita II jumlah
pusksesmas yang dipimpin oleh dokter telah meningkat menjadi 40 persen.[9]
Untuk semakin memudahkan pelayanan
kesehatan puskesmas terhadap masyarakat, pemerintah pun membangun puskesmas
pembantu, dan mengadakan puskesmas keliling, yaitu dengan pemberian mobil
keliling serta beberapa kapal untuk wilayah-wilayah yang memang dijangkau lewat
perairan.
Sumber : Koran Berita Buana, 7
Juni 1977
Adapun
dampak dari adanya program Samijaga,
pemerintah secara konkrit melakukan pencegahan timbulnya penyakit di
masyarakat. Hal tersebut karena pemerintah memperhatikan hygiene dan sanitasi yang baik. Kegiatan pengembangan hygiene dan sanitasi dalam pelita II
ditujukan untuk memperluaas penyediaan air minum yang sehat bagi penduduk di
pedesaan, meningkatkan penggunaan tempat-tempat pembuangan kotoran yang
memenuhi syarat kesehatan di pedesaan, serta mencegah pencemaran lingkungan.
oleh karena itu, dalam Repelita III Pemerintah mencanangkan pembangunan 260
ribu sumur pompa tangan, 1.200 perpipaan, 300 sumur artesis, 2,160 perlindungan
mata air dan 3.500 penampungan air hujan.
Program
Samijaga ini juga menjadi salah satu cara pemerintah untuk memberantas
penyakit, terutama kolera, dan membuahkan hasil dengan mencatat penurunan angka
kematian (case fatalite rate) dari 16
persen pada tahun 1972 menjadi 3,5 persen pada tahun 1978.[10]
KESIMPULAN
Memasuki
masa Pelita II, banyak evaluasi yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru di bawah
Presiden Soeharto terhadap kebijakan yang telah diambil sebelumnya di Pelita I.
Dalam bidang kesehatan yang masih belum terlalu signifikan pelayanannya dalam
rentang waktu 1969-1974, mulai digencarkan pada masa sesudahnya, terutama
fasiltas-fasilitas yang memang dirasakan harus dekat dengan semua penduduk
Indonesia agar tercipta pemerataan dan persebaran sarana kesehatan dapat
dirasakan. Lewat kebijakan INPRES No. 5 tahun 1974 pemerintah secara berkesinambungan
dan terarah terus memperluas persebaran fasilitas kesehatan tersebut, yaitu
Puskesmas dan Samijaga. Kesinambungan dari Inpres No. 5 tahun 1974 juga
ditindaklanjuti dnegan munculnya Inpres No. 7 tahun 1975, kemudian disusul dengan
inpres-inpres lain di Pelita berikutnya yang juga masih membahas hal yang sama,
yaitu meliputi : pembangunan puskesmas dilengkapi dengan peralatan medis, rumah
petugas dan biaya operasional dan pembangunan berbagai jenis sarana penyediaan
air minum dan jamban keluarga (SAMIJAGA) di seluruh Indonesia. Melalui
pemerataan sarana kesehatan ke berbagai wilayah di Indonesia, maka dengan
sendirinya penyebaran tenaga dokter dan paramedik dilaksanakan pula untuk
memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan yang bekerja pada sarana kesehatan. Bantuan pembangunan sarana kesehatan ini tidak
akan berjalan dengan sukses tanpa adanya bantuan dari badan PBB, yaitu WHO,
pemerintah daerah tujuan pembangunan serta masyarakat yang turut mendukung, sehingga
efek panjang dari kebijakan inpres adalah kesehatan masyarakat secara
menyeluruh mulai mengalami peningkatan.
DAFTAR PUSTAKA
-----. 1976. Masalah Pemukiman di
Indonesia. Jakarta : Laporan Nasional disusun dalam rangka Habitat
Konferensi Pemukiman PBB.
-----. 1980. Sejarah Kesehatan
Nasional Indonesia Jilid III. Jakarta : Departemen Kesehatan RI.
-----. 1990. Pembangunan Kesehatan Masyarakat di Indonesia. Jakarta : Departemen
Kesehatan RI.
-----. 2012. Sejarah Pembangunan Kesehatan Indonesia 1973-2012. Jakarta :
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Intruksi Presiden No. 5 tahun 1974
(diunduh dari peraturan.bkpm.go.id, pada 17 November 2016)
Siswanto, Hadi. 2003. Kamus Populer
Kesehatan Lingkungan. Jakarta : EGC.
Soesastro, Hadi (Peny). 2005. Pemikiran
dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir: 1966-1982.
Paruh Pertama Ekonomi Orde Baru. Yogyakarta : Kanisius.
Tim Nasional Penulisan Sejarah
Indonesia. 2010. Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI. Jakarta : Balai
Pustaka.
Surat
kabar
Berita Buana, 7 Juni
1977
Pos Kota, 16 Agustus
1975
[1] -----, 2012, Sejarah Pembangunan Kesehatan Indonesia 1973-2012, Jakarta :
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Hal 21
[2] Salah satu bentuknya
adalah perluasan pembangunan Puskesmas di suatu kecamatan yang penduduknya
lebih dari 30.000 (tiga puluh ribu) orang, atau Kecamatan yang wilayahnya cukup
luas. Lihat inturksi presiden no.5 tahun 1974.
[3] ----, 1990, Pembangunan Kesehatan Masyarakat di Indonesia, Jakarta : Departemen
Kesehatan RI, hal. 11
[4] Imbalan
pokok yang harus disediakan oleh Pemerintah Daerah ialah penyediaan tanah yang
bebas dari segala beban penyelesaian hukum dan biaya untuk penggunaannya
sebagai berikut :
a. Dalam
pembangunan PUSKESMAS penyediaan tanah yang luasnya memadai untuk pembangunan
minimum sebuah gedung PUSKESMAS beserta tiga rumah Staf PUSKESMAS ditambah
halaman;
b. Dalam
pembangunan PUSKESMAS penyediaan tanah yang luasnya memadai untuk pembangunan
minimum sebuah gedung PUSKESMAS Pembantu;
c. Dalam
pembangunan rumah dokter penyediaan tanah yang luasnya memadai. Lihat Inpres
No. 5 Tahun 1974
[5] Pos Kota, 16 Agustus
1975, Tanah buat Puskesmas tersedia di
Jakarta Pusat, hal. 2
[6] Ibid,
Pembangunan Kesehatan Masyarakat di
Indonesia, Hal, 12
[7]
Ibid, Hal.26
[8] Hadi, Soesastro (Peny), 2005, Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad
Terakhir: 1966-1982. Paruh Pertama Ekonomi Orde Baru, Yogyakarta : Kanisius, hal 391
[9]
Op. Cit, Hal. 23
[10]
Op. Cit, Hal, 34
Saya ingin setiap pasien herpes membaca kesaksian saya, nama saya SARAH MORGAN dari California di AS, saya menghubungi genital herpes dari mantan pacar saya yang tidak pernah mengalami gejala apa pun. Saya sudah memilikinya selama 4 bulan sekarang, dan itu telah mempengaruhi hidup saya. Saya telah memberi tahu pacar saya bahwa saya memercayai hal itu dan saya tidak pernah memiliki reaksi yang buruk, itu telah mempengaruhi hubungan baru saya dengan Smith dan orang-orang berpikir herpes benar-benar iritasi kulit ringan herpes memiliki efek jangka panjang pada kesehatan. Stigma yang melekat pada virus ini oleh orang-orang bodoh itu konyol. Kebanyakan orang menderita herpes dalam satu bentuk atau lainnya. Saya ingin memberi tahu orang-orang tentang bagaimana saya menyingkirkan herpes saya dan saya membaca komentar di internet, dan saya melihat kesaksian yang diposting oleh seorang wanita dari Jerman bahwa dia menyingkirkan herpesnya dengan bantuan DR AHKIGBE dan sebagainya. Saya sangat senang ketika melihat posting itu, bahwa pengobatan herbalnya gratis dan saya dengan cepat mengumpulkan email dokter herbal dan saya mengirim email kepadanya dalam 3 jam dia menjawab email saya dan saya menjelaskan beberapa hal kepadanya, dia mengatakan kepada saya untuk tidak khawatir bahwa dia akan menyembuhkan saya sepenuhnya dengan obat herbal, dia hanya meminta sedikit uang yang akan dia gunakan untuk membeli barang untuk persiapan obat herbal, berharap saya kirim kepadanya karena rasa sakitnya terlalu banyak untuk saya tanggung dan setelah beberapa beberapa hari dia mengatakan kepada saya bahwa dia telah menyiapkan obat herbal, bahwa saya harus mengirimkan alamat saya kepadanya bahwa dia ingin mengirimkannya kepada saya melalui DHL atau FED-EX, itulah cara saya mendapatkan obat herbal dan saya menggunakannya seperti yang diperintahkan dan Setelah beberapa hari saya mengetahui bahwa herpes saya sudah tidak ada lagi, saya pergi ke rumah sakit untuk konfirmasi dan memang benar begitulah cara saya sembuh. DR AKHIGBE juga menyembuhkan penyakit mematikan lainnya seperti, HIV / AIDS, HERPES, DIABETES, KANKER, ALS, ASTHMA, HERPAPITIS A&B, DEMAM BERDARAH, RABIES, THYROID, MENINGITIS, LUPUS, EPILEPSI, PENYAKIT KRONIK, PENYAKIT KULIT, BENCANA DIALA JOIN PAIN, STOMACH PAIN, SCHIZOPHRENIA, POLIO, MULTIPLES SCLEROSIS, PRESURE DARAH TINGGI, TUBERCULOSIS, ALZHEIMER, PENLARASIAN PENIS, PARKINSON'S, untuk mendapatkan ridge Anda dengan baik melalui emailnya: drrealakhigbe@gmail.com hubungi nomor situsnya: +21290 dengan https://blogspot.com //drrealakhigbe.weebly.com Anda masih dapat menulis saya di Instagram untuk mendapatkan informasi lebih lanjut. pada Sarah Morgan.
BalasHapus