Senin, 16 Januari 2017

PENINGKATAN PEMBANGUNAN SARANA KESEHATAN DI INDONESIA LEWAT INPRES NO. 5 TAHUN 1974





LATAR BELAKANG

Pada masa Orde Baru mulai memimpin tampuk pemerintahan Republik Indonesia, banyak sekali pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dalam menunjang pemerintahan yang teratur, terutama sekali dalam bidang kesehatan. Dengan program Pelita (Pembangunan Lima Tahun) yang digagas oleh Pemerintah Soeharto, bidang kesehatan mulai ditata sedemikan rupa supaya mampu menjangkau semua lapisan masyarakat. Akan tetapi, pada masa Pelita I, yakni sejak 1 April 1969 sampai dengan 1974, perkembangan kesehatan nasional masih sangat memprihatinkan.
Di masyarakat, rata-rata 45 orang dari seribu penduduk menderita sakit. Anak-anak berumur di bawah 1 bulan merupakan kelompok yang banyak menderita sakit, disusul kelompok umur 1 bulan hingga 4 tahun. Penyebabnya terutama infeksi sistem pernapasan (terutama TBC), infeksi kulit, diare, malaria, dan penyakit mata. Selain itu, dari seribu bayi yang lahir hidup setiap tahun, 125 sampai 150 di antara mereka meninggal sebelum berumur satu tahun. Padahal, untuk negara-negara yang telah mencapai tingkat kesehatan yang baik, jumlah kematian bayi paling banyak dua puluhan dari setiap seribu bayi yang lahir. Tidak hanya itu, pada masa akhir Pelita 1, masyarakat Indonesia juga mengalami gangguan kesehatan yang lain, meliputi penyakit menular, kelainan-kelainan yang disebabkan oleh kekurangan gizi, pencemaran lingkungan, masalah obat-obatan, makanan dan kosmetika yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan.[1]
Memasuki Pelita II, berbagai masalah dalam penyelenggaraan program-program kesehatan dalam Pelita I tetap masih dijumpai. Masyarakat di beberapa wilayah Indonesia belum mampu untuk menjangkau pelayanan kesehatan, khususnya masyarakat di pedesaan yang jauh dari puskesmas, yang umumnya puskesmas-puskesmas tersebut kebanyakan terletak di ibu kota kecamatan. Meskipun puskesmas tersebut ada di ibu kota kecamatan, secara geografis, persebaran penduduk, terutama luar pulau Jawa, dipisahkan oleh jarak yng cukup berjauhan dan diperburuk oleh keterbatasan infrastruktur trasnportasi.
Tidak hanya itu, penyebaran tenaga dokter dan tenaga paramedis yang tidak merata antara satu daerah dan daerah lain menyebabkan masalah krusial karena kurangnya tenaga kesehatan, terutama di wilayah terpencil, serta program-program bersifat pencegahan atau preventif di desa-desa belum sepenuhnya terintegrasi dan kurang koordinasi dengan pelayanan kuratif rumah sakit, sementara pengelolaan di rumah sakit masih membutuhkan penyempurnaan.

 


INPRES NO. 5 TAHUN 1975 DAN PEMBANGUNAN SARANA KESEHATAN

Memasuki Pelita II, bidang kesejahteraan sosial yang meliputi kesehatan mendapat perhatian yang cukup tinggi dibanding pada Pelita I yang lebih berorientasi pada ekonomi. Perhatian yang diberikan oleh pemerintah adalah melalui suatu Intruksi Presiden (INPRES). INPRES merupakan suatu kebijakan dalam memberikan bantuan pembangunan kabupaten / kotamadya yang didasarkan pada jumlah penduduk.[2] Program ini juga ditujukan untuk memperbaiki kondisi lingkungan hidup penduduk di desa-desa ataupun penduduk yang miskin di kota – kota melalui berbagi proyek, seperti proyek perbaikan kampung. Dalam bidang kesehatan, pemerintah mengeluarkan Intruksi Presiden No. 5 tahun 1974 tentang Bantuan Pembangunan Sarana Kesehatan yang kemudian ditindak lanjuti dengan keluarnya Intruksi Presiden no. 7 tahun 1975 dengan pembahasan masih dalam hal yang sama.
Pembangunan kesehatan dalam Pelita II terutama diarahkan untuk mencapai ketersediaan sarana dan tenaga pelayanan kesehatan yang memenuhi kebutuhan masyarakat, mengurangi jumlah penderita penyakit dan menekan kemunculan wabah penyakit, meningkatkan perbaikan gizi, menyediakan sarana sanitasi dan pengembangan kesadaran masyarakat untuk hidup sehat dan menciptakan keluarga sejahtera.
Adapun hal pokok yang diintruksikan presiden lewat INPRES No. 5 tahun 1974 mencakup tiga hal, yaitu pembangunan gedung Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas),  Sarana Penyediaan Air Minum Pedesaan, dan pembangunan Jamban Keluarga. Ketiga hal pokok ini bertujuan untuk melaksanaan pemerataan pelayanan kesehatan, serta sebagai salah satu langkah kongkrit untuk meningkatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang berpenghasilan rendah, baik di desa maupun di kota.

1.                  Puskesmas
Sebagaimana yang ditetapkan dalam Rapat Kerja Kesehatan Nasional pada tahun 1968, Puskesmas merupakan suatu unit pelayanan kesehatan yang memberikan pelayanan keshatan kuratif dan preventif secara terpadu, menyeluruh dan mudah dijangkau, dalam suatu wilayah kecamatan atau sebagian kecamatan di kabupaten atau kotamadya. Kegiatan yang dilakukan oleh puskesmas meliputi perawatan medis, kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana, pemberantasan penyakit menular, kesehatan lingkungan dan sanitasi, gizi, pendidikan kesehatan, kesehatan gigi, kesehatan sekolah, pelayanan laboratorium, kesehatan jiwa, dan perawatan masyarakat serta pencatatan –pelaporan.[3]
Pemerintah dalam menunjang fungsi puskesmas bagi keberlangsungan kesehatan masyarakat mencanangkan untuk membangun setidaknya satu puskesmas untuk setiap kecamatan karena tujuan pemerintah adalah untuk memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan sedekat mungkin dengan masyarakat. Penyebaran puskesmas untuk tiap-tiap kabupaten didasarkan pada ketentuan-ketentuan sebagai berikut : setiap daerah tingkat II memperoleh sekurang-kurangnya sebuah Puskesmas, sedangkan penyebaran puskesmas akan diperbaiki didasarkan pada jumlah puskesmas yang ada baik di propinsi maupun kabupaten.
Untuk menunjang berdirinya suatu puskesmas yang “ideal", maka pemerintah memberikan bantuan pembangunan puskesmas, diantaranya meliputi :
        Gedung puskesmas
        Tiga buah rumah staf puskesmas
        Alat medis dan non medis sederhana
        Obat-obatan
        Biaya operasional petugas lapangan
Untuk memperlancar proses pembangunan puskesmas, pemerintah pusat hanya menyediakan dana bantuan yang akan diberikan pada pemerintah daerah sebagai penaggung jawab pelaksana pembangunan di wilayah setempat dengan beberapa ketentuan, salah satunya tanggun jawab untuk menyediakan lahan atau tanah kosong.[4] Tidak hanya di wilayah terpencil atau jauh dari ibu kota, bantuan Puskesmas juga terjadi di Jakarta.
“ Jakarta untuk tahun 75-76 di wilayah Jakarta Pusat telah tersedia lokasi-lokasi tanah untuk puskesmas-puskesmas yang dibangun dalam kegiatan realisasi proyek pelita masing-masing di kelurahan Harapan Mulya, Gelora Senayan, dan Rawasari. Puskesmas yang  dibangun atas Inpres menurut pihak Walikota Jakarta Pusat kemarin arealnya ditetapkan di Mangga Dua Selatan. Sedang 3 buah unit bangunan puskesmas proyek Inpres 74 75 yang telah selesai dibangun dan siap dipakai adalah puskesmas di Kelurahan Petamburan, Pegangasaan, Petojo Utara, dan di Kelurahan Johar Baru.”[5]

Selama Pelita II (1974-1979), pengembangan jumlah Puskesmas meningkat dari 2.343 pada akhir pelita I (1973/1974) menjadi 4.353 pada akhir pelita II. Ada 3.270 kecamatan di Indonesia yang telah memiliki setidaknya satu puskesmas. Bahkan proporsi dokter yang bekerja di Puskesmas meningkat dari 34% di akhir Pelita I sampai 89,5 % di akhir Pelita II. Hal tersebut dimungkinkan karena adanya penempatan pada 2.700 dokter untuk Puskesmas.[6]

  1. Samijaga (Sarana Air Minum dan Jamban Keluarga)
Untuk menunjang perbaikan lingkungan permukiman desa, usaha sanitasi dan penyediaan air minum di daerah pedesaaan di titik beratkan pada usaha penyuluhan dan pemberian bantuan teknis dalam pemanfaatan sumber-sumber air yang terdapat di daerah pedesaan untuk kepentingan kesehatan. Peningkatan sarana penyediaan air bersih di perdesaan diprioritaskan pada daerah-daerah yang sulit memperoleh air bersih, tempat angka kesakitan penyakit wabah kolera, dan penyakit-penyakit perut lainnya. Kolera sendiri merupakan penyakit yang menyebar lewat air yang terdehidrasi sehingga penyebaran sarana air minum dan jamban keluarga dititikberatkan pada pencegahan terjadinya penyakit kolera dan penyakit perut lainnya.
Kebutuhan fasilitas air minum untuk lingkungan perumahan di daerah pedesaan dilakukan melalui bantuan Pemerintah dengan beberapa pembangunan :
  • Penampungan mata air dengan perpipaannya
  • Penampungan air hujan
  • Perlindungan mata air
  • Sumur artesis
  • Sumur dengan pompa tangan
  • Bantuan jamban keluarga
Dalam Pelita II dilaksanakan pemasangan 1.200 instalasi air minum perpipaan di perdesaan dan pemasangan 20.000 sumur pompa di Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Sulawesi Utara, Sulawaesi Selatan, dan Bali. Sementara daerah-daerah lain dalam tahap persiapan untuk pelaksanaaan penyediaan air minum perdesaan.[7] Program sarana air bersih ini terutama sekali diprioritaskan di daerah letusan di Indonesia, seperti di Nusa Tenggara Barat, Bali, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan. Tidak hanya itu, pada tahun 1975/1976 di seluruh kabupaten kotamadya di Propinsi Sulawesi Selatan direncanakan akan dipasang 7000 pompa air, dan Indoensia mendapat kunjungan dari perwakilah WHO, Dr. Brestein dan Mr Mechor, pada 8-10 Mei 1975 meninjau proyek menyangkut air minum, sanitasi dan program pedesaan di Sumatera Barat.
Layaknya program Puskesmas, dalam melaksanakan program Samijaga ini, pemerintah pusat hanya memberikan bantuan dana pokoknya sehingga Pemerintah daerah dan masyarakat yang terlibat tetap memiliki kewajiban lainnya untuk mensukseskan program Samijaga. Kewajiban yang harus disediakan oleh Pemerintah Daerah dalam pembangunan sarana penyediaan air minum ialah terutama biaya pemasangan perpipaan, sedangkan keluarga yang menerima bantuan diharapakan partisipasinya untuk pembuatan rumah jamban dan lubang jamban, karena bantuan yang disediakan hanya pembuatan slab (lantai jamban) dan bowl (leher angsa).[8]



DAMPAK INTRUKSI PRESIDEN NO. 5 TAHUN 1974

Adanya bantuan pemerintah terhadap pembangunan sarana kesehatan yang dilakukan dengan Inpres membuahkan beberapa hasil yang sukses dalam meningkatkan pelayanan kesehatan bagi seluruh masyarakat, terutama bagi masyarakat yang tinggal di wilayah-wilayah terpencil ataupun wilayah luar pulau Jawa. Secara kuantitas, jumlah Pusksemas meningkat secara signifikan, di mana selama Pelita II (1974-1979), pengembangan jumlah Puskesmas meningkat dari 2.343 pada akhir pelita I (1973/1974) menjadi 4.353 pada akhir pelita II. Ada 3.270 kecamatan di Indonesia yang telah memiliki setidaknya satu puskesmas. Adanya peningkatan Puskesmas juga mendorong pemberantasan penyakit menular diberbagai wilayah, seperti upaya pemberantasan penyakit patek di daerah-daerah Jawa dan Bali, pemberantasa penyakit zoonis (penyakit pada binatang yang dapat menjangkiti manusia) yang diutamakan pada upaya pencegahan dan pengobatan kasus pes dan rabies atau anjing gila.
Seiring persebaran puskemas ke berbagai wilayah, berkorelasi juga dengan semakin menyebarnya dokter-dokter dan tenaga medis ke berbagai wilayah di Indonesia. Pada akhir Pelita I jumlah dokter di Indonesia sebanyak 6.221 orang, belum termasauk krang lebih seribu dokter ABRI sehingga rata-rata satu dokter melayani 24.000 penduduk. Dari jumlah itu, hanya 12,9 persen yagn bekerja di puskesmas sehingga baru 29 persen puskesmas di Jawa dan Bali yan gdipimpin oleh dokter. Dalam Pelita II jumlah puskesmas yang dipimpin oleh dokter menngkat menjadi 50 persen, sednagkan di daerah-daerah di luar pulau Jawa dan Bali yang dalam Pelita I baru 20 persen puskesmas dipimpin oleh dokter, dalam Pelita II jumlah pusksesmas yang dipimpin oleh dokter telah meningkat menjadi 40 persen.[9]
Untuk semakin memudahkan pelayanan kesehatan puskesmas terhadap masyarakat, pemerintah pun membangun puskesmas pembantu, dan mengadakan puskesmas keliling, yaitu dengan pemberian mobil keliling serta beberapa kapal untuk wilayah-wilayah yang memang dijangkau lewat perairan.
Sumber : Koran Berita Buana, 7 Juni 1977
Adapun dampak dari  adanya program Samijaga, pemerintah secara konkrit melakukan pencegahan timbulnya penyakit di masyarakat. Hal tersebut karena pemerintah memperhatikan hygiene dan sanitasi yang baik. Kegiatan pengembangan hygiene dan sanitasi dalam pelita II ditujukan untuk memperluaas penyediaan air minum yang sehat bagi penduduk di pedesaan, meningkatkan penggunaan tempat-tempat pembuangan kotoran yang memenuhi syarat kesehatan di pedesaan, serta mencegah pencemaran lingkungan. oleh karena itu, dalam Repelita III Pemerintah mencanangkan pembangunan 260 ribu sumur pompa tangan, 1.200 perpipaan, 300 sumur artesis, 2,160 perlindungan mata air dan 3.500 penampungan air hujan.
Program Samijaga ini juga menjadi salah satu cara pemerintah untuk memberantas penyakit, terutama kolera, dan membuahkan hasil dengan mencatat penurunan angka kematian (case fatalite rate) dari 16 persen pada tahun 1972 menjadi 3,5 persen pada tahun 1978.[10]


KESIMPULAN
Memasuki masa Pelita II, banyak evaluasi yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru di bawah Presiden Soeharto terhadap kebijakan yang telah diambil sebelumnya di Pelita I. Dalam bidang kesehatan yang masih belum terlalu signifikan pelayanannya dalam rentang waktu 1969-1974, mulai digencarkan pada masa sesudahnya, terutama fasiltas-fasilitas yang memang dirasakan harus dekat dengan semua penduduk Indonesia agar tercipta pemerataan dan persebaran sarana kesehatan dapat dirasakan. Lewat kebijakan INPRES No. 5 tahun 1974 pemerintah secara berkesinambungan dan terarah terus memperluas persebaran fasilitas kesehatan tersebut, yaitu Puskesmas dan Samijaga. Kesinambungan dari Inpres No. 5 tahun 1974 juga ditindaklanjuti dnegan munculnya Inpres No. 7 tahun 1975, kemudian disusul dengan inpres-inpres lain di Pelita berikutnya yang juga masih membahas hal yang sama, yaitu meliputi : pembangunan puskesmas dilengkapi dengan peralatan medis, rumah petugas dan biaya operasional dan pembangunan berbagai jenis sarana penyediaan air minum dan jamban keluarga (SAMIJAGA) di seluruh Indonesia. Melalui pemerataan sarana kesehatan ke berbagai wilayah di Indonesia, maka dengan sendirinya penyebaran tenaga dokter dan paramedik dilaksanakan pula untuk memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan yang bekerja pada sarana kesehatan.  Bantuan pembangunan sarana kesehatan ini tidak akan berjalan dengan sukses tanpa adanya bantuan dari badan PBB, yaitu WHO, pemerintah daerah tujuan pembangunan serta masyarakat yang turut mendukung, sehingga efek panjang dari kebijakan inpres adalah kesehatan masyarakat secara menyeluruh mulai mengalami peningkatan.







DAFTAR PUSTAKA

-----. 1976. Masalah Pemukiman di Indonesia. Jakarta : Laporan Nasional disusun dalam rangka Habitat Konferensi Pemukiman  PBB.
-----. 1980. Sejarah Kesehatan Nasional Indonesia Jilid III. Jakarta : Departemen Kesehatan RI.
-----. 1990. Pembangunan Kesehatan Masyarakat di Indonesia. Jakarta : Departemen Kesehatan RI.
-----. 2012. Sejarah Pembangunan Kesehatan Indonesia 1973-2012. Jakarta : Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Intruksi Presiden No. 5 tahun 1974 (diunduh dari peraturan.bkpm.go.id, pada 17 November 2016)
Siswanto, Hadi. 2003. Kamus Populer Kesehatan Lingkungan. Jakarta  : EGC.
Soesastro, Hadi (Peny). 2005. Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir: 1966-1982. Paruh Pertama Ekonomi Orde Baru. Yogyakarta : Kanisius.
Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia. 2010. Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI. Jakarta : Balai Pustaka.

Surat kabar
Berita Buana, 7 Juni 1977
Pos Kota, 16 Agustus 1975



[1] -----, 2012, Sejarah Pembangunan Kesehatan Indonesia 1973-2012, Jakarta : Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Hal 21
[2] Salah satu bentuknya adalah perluasan pembangunan Puskesmas di suatu kecamatan yang penduduknya lebih dari 30.000 (tiga puluh ribu) orang, atau Kecamatan yang wilayahnya cukup luas. Lihat inturksi presiden no.5 tahun 1974.
[3] ----, 1990, Pembangunan Kesehatan Masyarakat di Indonesia, Jakarta : Departemen Kesehatan RI, hal. 11
[4] Imbalan pokok yang harus disediakan oleh Pemerintah Daerah ialah penyediaan tanah yang bebas dari segala beban penyelesaian hukum dan biaya untuk penggunaannya sebagai berikut :
a. Dalam pembangunan PUSKESMAS penyediaan tanah yang luasnya memadai untuk pembangunan minimum sebuah gedung PUSKESMAS beserta tiga rumah Staf PUSKESMAS ditambah halaman;
b. Dalam pembangunan PUSKESMAS penyediaan tanah yang luasnya memadai untuk pembangunan minimum sebuah gedung PUSKESMAS Pembantu;
c. Dalam pembangunan rumah dokter penyediaan tanah yang luasnya memadai. Lihat Inpres No. 5 Tahun 1974
[5] Pos Kota, 16 Agustus 1975, Tanah buat Puskesmas tersedia di Jakarta Pusat,  hal. 2
[6] Ibid, Pembangunan Kesehatan Masyarakat di Indonesia, Hal, 12
[7] Ibid, Hal.26
[8] Hadi, Soesastro (Peny), 2005, Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir: 1966-1982. Paruh Pertama Ekonomi Orde Baru, Yogyakarta : Kanisius, hal 391
[9] Op. Cit, Hal. 23
[10] Op. Cit, Hal, 34

1 komentar:

  1. Saya ingin setiap pasien herpes membaca kesaksian saya, nama saya SARAH MORGAN dari California di AS, saya menghubungi genital herpes dari mantan pacar saya yang tidak pernah mengalami gejala apa pun. Saya sudah memilikinya selama 4 bulan sekarang, dan itu telah mempengaruhi hidup saya. Saya telah memberi tahu pacar saya bahwa saya memercayai hal itu dan saya tidak pernah memiliki reaksi yang buruk, itu telah mempengaruhi hubungan baru saya dengan Smith dan orang-orang berpikir herpes benar-benar iritasi kulit ringan herpes memiliki efek jangka panjang pada kesehatan. Stigma yang melekat pada virus ini oleh orang-orang bodoh itu konyol. Kebanyakan orang menderita herpes dalam satu bentuk atau lainnya. Saya ingin memberi tahu orang-orang tentang bagaimana saya menyingkirkan herpes saya dan saya membaca komentar di internet, dan saya melihat kesaksian yang diposting oleh seorang wanita dari Jerman bahwa dia menyingkirkan herpesnya dengan bantuan DR AHKIGBE dan sebagainya. Saya sangat senang ketika melihat posting itu, bahwa pengobatan herbalnya gratis dan saya dengan cepat mengumpulkan email dokter herbal dan saya mengirim email kepadanya dalam 3 jam dia menjawab email saya dan saya menjelaskan beberapa hal kepadanya, dia mengatakan kepada saya untuk tidak khawatir bahwa dia akan menyembuhkan saya sepenuhnya dengan obat herbal, dia hanya meminta sedikit uang yang akan dia gunakan untuk membeli barang untuk persiapan obat herbal, berharap saya kirim kepadanya karena rasa sakitnya terlalu banyak untuk saya tanggung dan setelah beberapa beberapa hari dia mengatakan kepada saya bahwa dia telah menyiapkan obat herbal, bahwa saya harus mengirimkan alamat saya kepadanya bahwa dia ingin mengirimkannya kepada saya melalui DHL atau FED-EX, itulah cara saya mendapatkan obat herbal dan saya menggunakannya seperti yang diperintahkan dan Setelah beberapa hari saya mengetahui bahwa herpes saya sudah tidak ada lagi, saya pergi ke rumah sakit untuk konfirmasi dan memang benar begitulah cara saya sembuh. DR AKHIGBE juga menyembuhkan penyakit mematikan lainnya seperti, HIV / AIDS, HERPES, DIABETES, KANKER, ALS, ASTHMA, HERPAPITIS A&B, DEMAM BERDARAH, RABIES, THYROID, MENINGITIS, LUPUS, EPILEPSI, PENYAKIT KRONIK, PENYAKIT KULIT, BENCANA DIALA JOIN PAIN, STOMACH PAIN, SCHIZOPHRENIA, POLIO, MULTIPLES SCLEROSIS, PRESURE DARAH TINGGI, TUBERCULOSIS, ALZHEIMER, PENLARASIAN PENIS, PARKINSON'S, untuk mendapatkan ridge Anda dengan baik melalui emailnya: drrealakhigbe@gmail.com hubungi nomor situsnya: +21290 dengan https://blogspot.com //drrealakhigbe.weebly.com Anda masih dapat menulis saya di Instagram untuk mendapatkan informasi lebih lanjut. pada Sarah Morgan.

    BalasHapus