perkebunan tembakau di Deli
sumber : kitlv.nl
LATAR BELAKANG
Konsentrasi Pemerintah Hindia Belanda dalam
perekonomian di Pulau Jawa dan banyaknya perang yang dihadapi di Jawa, terutama
perang Diponegoro yang menghabiskan biaya, menyebabkan ekspansi wilayah ke Nusantara
bagian barat tidak terlalu besar atau dapat dikatakan belum ada.
Ketidakberminat Belanda dalam melakukan ekspansi teritorial ke daerah-daerah
luar Jawa tersebut karena
sejak tahun 1830, Jawa menjelma menjadi sebuah daerah koloni yang menghasilkan
banyak keuntungan lewat tanam paksa.
Munculnya kesadaran Belanda untuk melakukan ekspansi
daerah-daerah nusantara lain disebabkan kekhawatiran akan terancamnya hegemoni Belanda
di wilayah nusantara, terutama munculnya
“Raja Brooke” di Serawak yang mendeklarasikan diri sebagai Raja Serawak dengan
asal kebangsaan dari Inggris. Tidak hanya itu, ekspansi Belanda juga didasari
oleh motif ekonomi seperti adanya pembukaan perkebunan komoditi eksport serta
penemuan bahan-bahan mineral yang berharga di daerah luar Jawa, yaitu timah di
daerah pulau Bangka, Belitung, dan Singkep, batu bara di Ombilin, Sumatera
Barat, emas di Kalimantan barat dan batu bara di Kalimantan Tenggara.[1]
Dengan perluasan dan peningkatan ekonomi yang
dilakukan oleh Belanda menyebabkan ketertarikan para pemodal asing untuk
melakukan investasi di Hindia Belanda, terutama pada wilayah perkebunan. Maka
pada tahun 1870 ketika kebijakan pintu terbuka atas Hindia Belanda diterapkan, banyak modal asing
yang berkiprah dalam usaha perkebunan, salah satunya perkebunan tembakau di
daerah Sumatera Timur.
Perkebunan tembakau Sumatera Timur melambung namanya
ketika seorang Belanda, Jacob Nienhuis, pada tahun 1865 mampu menjual 189 bal
daun tembakau dengan mudah di Eropa dengan harga yang tinggi dan kualitas yang
baik. Hal itu ternyata mampu menarik perhatian kalangan-kalangan besar negeri Belanda
untuk menanam tembakau di Sumatera Timur, seperti Badan Usaha Dagang Belanda (Nederlandshe Handel Maatschappij) milik Raja
Willem 1 yang menanam sahamnya pada perkebunan Nienhuis tahun 1869. Kemudian,
masuknya modal swasta mengakibatkan semakin luasnya wilayah perkebunan
tembakau, di mana beberapa daerah di Sumatera Timur berubah kawasan dari
hutan-hutan menjadi perkebunan.
Akan tetapi, semakin meningkatnya produksi tembakau dari Sumatera
Timur pada akhir abad ke 19 membuatnya
mengalami sebuah ketidakseimbangan dan penurunan, sedangkan permintaan menurun, terutama di Amerika karena
diberlakukannya peningkatan bea impor, membawanya pada krisis tahun 1891. Untuk mengatasi hal tersebut
perkebunan-perkebunan tembakau dikurangi jumlahnya dan untuk mengisis
kekosongan lahan, pada tahun 1904 di Sumatera Timur wilayah perkebunan tersebut
mulai ditanami tanaman eksport lain, seperti kopi, karet dan sawit dalam skala
besar
Hal penting yang tidak dapat dilepaskan dari perkembangan
perkebunan di Sumatera Timur tersebut adalah kebutuhan akan tenaga kerja. Kebutuhan
tenaga kerja yang banyak tidak mampu disediakan oleh daerah Sumatera Timur sehingga mengakibatkan
dipekerjakannya buruh dari luar Sumatera
Timur, seperti
pekerja
Cina dan Jawa.
Adanya pekerja-pekerja yang bekerja di
perkebunan milik swasta tersebut memunculkan
suatu peraturan kontrak kerja yang dikenal dengan Koeli Ordonantie dan Poenalie
Sanctie
Rumusan Masalah
Berdasarkan
pemaparan di atas maka makalah ini akan menjelaskan mengenai perkembangan
perkebunan tembakau di Sumatera Timur dengan adanya campur
tangan asing eropap serta dampaknya terhadap kemunculan buruh asing pada tahun 1865 sampai 1891 dengan beberapa
pertanyaan pendukung untuk melengkapi bahasan makalah yang diajukan, yaitu :
1. Faktor-faktor apa yang mendukung berkembangnya perkebunan
tembakau di sumatera timur pasca tahun 1865?
2. Bagaimana dampak krisis tahun 1891 terhadap perkebunan
tembakau?
3. Mengapa perkembangan perkebunan tembakau ikut mempengaruhi
terhadap perkembangan buruh di Sumatera Timur?
Ruang lingkup masalah
Pembahasan penulisan makalah ini terdiri dari tiga ruang lingkup,
yaitu dari segi temporal, spasial dan masalah yang diangkat. Dari segi spasial
atau tempat, penulisan ini mengambil tempat di sumatera Timur. Dari segi temporal atau waktu
adalah tahun 1865
sebagai awal pijakan dan tahun 1891
sebagai akhir tahun pembahasan. Tahun 1865
dijadikan sebagai patokan awal karena Nienhuis
mampu menghasilkan tembakau yang berkualtas tinggi dan dijual dengan harga
tinggi di rotterdam, bleanda sehingga mampu memicu perusahaan utuk ikt
menanamkan sahamnya di perusahaan yang kemudian dibangun oleh nienhuis dan saat
hindia belanda dibuka untuk modal asing pada tahun 1870, para pemdal-pemodal
asing tersebut menanamkan modalnya di perkebunan tembakau sumatera timur
sehingga sdlam jangka waktu tdak lama perkeubna-perkebunan tembakau asing
bermunculan, sedangkan tahun 1981 dijadikan patokan
akhir pembahasan karena pada tahun tersebut harga
atembakau yang tinggi dipasaran dunia jjatuh dengan mudahnya karena munculnya
faktor-faktor ekternal, dan menjadi titik puncak besarnya perkebunan tembakau
di sumatera timur, dan setealah nya perkebunan tembakau banyak mengalami
penurunan, baik di liuidasi maupun ditutup.
Kemudian dari segi masalah yang diangkat dari penulisan ini adalah mengenai perkembangan perkebunan tembakau di sumatera timur pasca
masuknya belanda.
Tujuan penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui
sejauh mana perkembagan daerah sumatera timur dalam bidang perkebuna temabkau
yang mulai me
Metode penulisan
Metode peulisn ang digunakan untuk makalah ini adalah
metode sejarah,. Dengan em[at tahapan terstruktur, yaitu heuristik, kritik,
interpretasi dan historiografi.
Metode penulisan yang digunakan dalam penulisan
skripsi adalah metode sejarah. Metode ini mencakup empat tahap, yaitu
heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Heuristik adalah tahap
pencarian sumber sejarah, pada tahap ini menggunakan sumber sekunder, yaitu
berupa buku, thesis, dan jurnal
yang didapatkan dari Perpustakaan Pusat UI, internet
dan milik pribadi. Setelah sumber data terkumpul, maka tahap kedua adalah
melakukan kritik sumber. Terdapat dua hal yang dapat dilakukan dalam mengkritik
sumber, yaitu kritik intern dan kritik ekstern. Pada kritik intern penulis
menentukan kredibelitas dari sumber yang didapatkan, sedangkan pada kritik
ekstern memastikan otentitas dari sumber yang telah didapatkan. Kedua kritik
tersebut untuk memastikan bahwa sumber yang akan digunakan layak dijadikan
sumber dan akurat, kritik sumber inipun dilakukan dengan membandingkan satu
sumber dengan sumber lain agar sumber yang akan digunakan benar-benar akurat.
Tahap ketiga adalah interpretasi atau penafsiran, pada tahap ini penulis
melakukan analisis terhadap isi dari sumber yang didapatkan. Kemudian tahap
terakhir adalah historiografi, yaitu penulisan sejarah. Tahap ini dilakukan
setelah ketiga tahap di atas selesai dengan baik. Historiografi inipun ditulis
dengan judul perkembangan perkebunan tembakau di sumatera timur tahun
1865-1891.
Tinjauan pustaka
Untuk menunjang penulisan makalah ini digunakan beberapa
sumber sekunder, berupa buku, tesis, maupun jurnal yang di dapat dri
perpustakaan pusat universtas indonesia, internet, dan buku pribadi
Buku utama yang dijadikan rujukan adalah toean kebun dan
petani. Politik kolonial dan permaslahan agraria. Karya karl peolzer
Sistematika penulisan
Untuk mempermudah dalam penulisan, pembahasan
makalah ini akan dibagi dalam lima bab, yang terbagi dalam bab-bab sebagai
berikut :
Bab pertama adalah pendahuluan. Pada bab ini di
paparan mengenai latar belakang penulisan skripsi, rumusan masalah, ruang
lingkup masalah, tujuan penulisan, metode penulisan, tinjauan pustaka, dan
sistematika penulisan.
Bab kedua akan menjelaskan mengenai keadaan sumatera timur, baik dari segi geografis maupun sosial
sampai munculnya camputr tangan blelanda ke wilaah sumatera timur dnegan adanya
perjanjian siak, yaitu perjanjian antara belanda dengan sultan siak untuk
menyatakan tunduk pada kedudukan belanda. Dengan adanya pengaruh belanda di
suamtera timur menyebabkan munculnya
Bab ketiga menjelaskan mengenai latar belakang
pemilihan Pondok Indah sebagai real estate dan juga proses pembebasan tanah
yang dilakukan untuk pembangunan Pondok Indah serta penjelasan beragam
fasilitas yang dibangun sebagai penunjang Pondok Indah.
Bab keempat membahas mengenai dampak yang terjadi
akibat pembangunan Pondok Indah, baik bagi Jakarta maupun bagi penduduk di
sekitar Pondok Indah, pada bab ini juga diuraikan bagaimana Pondok Indah mampu
menjadi “tanda” sebuah kawasan elite di Jakarta dan juga ciri metropolitannya
kota Jakarta yang sejajar dengan kota lain di dunia.
Terakhir adalah bab lima,yaitu berisi kesimpulan
dari pembahasan bab-bab sebelumnya yang menarik hasil dari pembahasan yang
telah dipaparkan.
MODAL SWASTA DAN PERKEMBANGAN PERKEBUNAN TEMBAKAU
1870-1891
Sejak akhir abad ke-19, Hindia Belanda bukan lagi
sebuah wilayah monopoli ekonomi dari Pemerintah Hindia Belanda. Kemenangan kaum
liberal pada tahun 1850 di Belanda mendorong Hindia Belanda untuk dibuka sebagai
tempat penanam modal swasta yang bertujuan meningkatkan taraf kesejahteraan
masyarakat pribumi. Modal swasta yang masuk tersebut tidak hanya dari negeri
Belanda, tetapi juga negara lain seperti Inggris dan Amerika. Modal-modal
tersebut masuk dalam berbagai sektor ekonomi, seperti perkebunan dan
pertambangan. Dalam bidang perkebunan, masuknya modal swasta mampu meningkatkan
kuantitas perkebunan besar di beberapa wilayah di Jawa dan Sumatera, salah satunya
perkebunan termbakau di Sumatera Timur.
Wilayah Sumatera Timur masuk dalam wilayah kekuasaan
Pemerintah Hindia Belanda setelah ditandatanginya perjanjian antara Sultan Siak
dan Pemerintah Hindia Belanda pada 1 Februari 1858 yang dikenal dengan Traktat Siak. Dalam perjanjian tersebut
dinyatakan bahwa Siak beserta daerah taklukannya sampai batas Tamiang yang
berbatasan dengan Aceh berada di bawah perlindungan Belanda. Kemudian pada 22
Agustus tahun 1862 dibuat penandatangan perjanjian Acte van Verband antara
Pemerintah Hindia Belanda dengan Sultan Deli sehingga memperkokoh kekuasaan
Belanda di Sumatera Timur.[2]
Maka ketika modal asing dibuka, Sumatera Timur telah berada di bawah kekuasaan
pemerintah Hindia Belanda.
Sebelum pengusaha-pengusaha barat datang untuk
membuka lahan perkebunan, lahan yang subur telah dimanfaatkan oleh masyarakat
di daerah sekitarnya, yaitu Batak Karo dan Melayu untuk menanam padi, cabai,
dan tembakau secara berselang-seling.[3] Tidak hanya itu, masyarakat juga menanam lada untuk dieskpor
serta menanam tembakau. Hal itu sudah diketahui
juga oleh orang asing sejak masa Anderson.[4]
Pengamatan Anderson mengenai penanaman tembakau Deli sangat penting karena
tanaman inilah yang kemudian membuat Deli terkenal ke seluruh dunia. Tembakau
yang ditanam oleh orang-orang Melayu dan Batak dilakukan dengan cara yang
sangat sederhana.[5]
Namun tanaman tembakau yang diusahakan oleh masyarakat tersebut masih dalam
skala kecil sehingga tidak mampu memberikan keuntungan yang besar.
Komoditas tembakau Sumatera Timur itu mendunia berkat
jasa Jacob Nienhuis, seorang pekerja perkebunan belanda di surabaya, J.F. van Leeuwen and Co. yang datang ke Deli
pada 6 Juli 1863 karena mendapat perintah untuk bertemu Said Abdullah yang
menyatakan bahwa wilayah Deli sebagai wilayah yang berpotensi memproduksi
tembakau dengan mutu baik. Namun pada awal tahun tersebut pengusahaan tembakau
oleh Nienhuis tersebut tidak memberikan hasil yang baik sehingga J.F Leeuwen and Co. menarik kembali pekerja
dan bantuannya ke Jawa, namun Nienhuis tetap bertahan. Pada 1865, perkebunan tembakau
Nienhuis mampu menghasilkan daun tembakau sebanyak 189 bal. Nienhuis kemudian menjualnya
ke Eropa dan mampu mendatangkan keuntungan karena bermutu baik sehingga
menunjukan ketertarikan yang besar dari pengusaha-pengusaha di sana.[6] Pada
tahun 1869, Badan Perusahaan Dagang
Belanda milik Raja Willem 1 (Netherland
Handels Maatschappij) menanamkan modalnya pada perusahaan Nienhuis dan
temannya (Jannsen dan Clemen), yaitu Deli
Maatschappij dengan total saham 50%.
Ketika kebijakan pintu terbuaka bagi modal swasta
diberlakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda, terbukalah kesempatan bagi para
pengusaha Eropa untuk menanamkan modalnya di Wilayah Sumatera Timur dan hal
tersebut juga didukung oleh pemberlakuan Undang-Undang Agraria tahun 1870.
Undang-undang tersebut memberi peluang untuk membuka lahan perkebunan
seluas-luasnya di wilayah Sumatera Timur. Pembukaan hutan untuk perkebunan
tidak saja dipusatkan di Deli, akan tetapi meluas ke daerah Serdang, Langkat,
Simalungun, dan Asahan. Maka wilayah Sumatera Timur yang awalnya merupakan
hutan belantara, dalam beberapa dekade berubah menjadi salah satu daerah
penghasil komoditi ekspor tembakau terpenting di Hindia Belanda. Daerah-daerah
yang berada di sepanjang Pesisir Pantai Sumatera menjadi incaran para pengusaha
Eropa untuk mengembangkan tanaman komoditas yang tengah laku di pasaran dunia.
Adapun untuk mendapatkan daerah perkebunan, para
pengusaha-pengusaha asing tersebut harus menyewanya dari penguasa setempat, seperti sultan Deli, sultan Langkat, dan yang lainnya.
Perusahaan Nienhuis, yaitu Deli Maatschappij
mendapatkan sewa tanah dari Sultan Deli, di mana sultan deli memberi
konsesi-konsesi tanah dalam kontrak selama 12 tahun pertama, yang jangka
waktunya berbeda-beda. Beberapa konsesi berlaku untuk 99 tahun, yang lainnya
berlaku untuk 70 tahun atau 75 tahun. Pada Kontrak Mabar-Delitua tanggal 11
Juni 1870 yang ditanda tangani oleh Sultan Deli dan Deli Maatschappij,
disepakati pembukaan lahan seluas 12.000 bau[7]
dalam waktu lima tahun. Pada akhir jangka lima tahun Deli Maatschappij memperoleh
hak selama 99 tahun atas semua tanah yang sudah dibuka dan ditanami. Kontrak
lain yang disepakati pada tanggal 4 Desember 1869, adalah Kontrak Polonia yang
ditandatangani oleh Sultan Deli, yaitu hak konsesi untuk membuka tanah antara
sungai Deli dan Babura. [8]
Pada tahun 1868 keuntungan yang diperoleh Jacobus Nienhuys lebih dari 100%, di
mana biaya yang dkeluarkan 30.000 gulden dengan keuntungan 67.000 gulden
Bukan hanya Sultan Deli yang menawarkan tanahnya
kepada pemodal Eropa, melainkan juga Sultan Langkat. Tahun 1871 Sultan Langkat
mengkonsesikan tanahnya seluas 17.000 bau, dan 20 buah perkebunan berdiri di atas tanah
tersebut.
Tabel 1
Perluasan
perkebunan tembakau di wilayah Sumatera Timur
Tahun
|
Jumlah penanaman tembakau
|
Keterangan
|
1864
|
1
|
Nienhuis pionir pengusahaan perkebunan
|
1872
|
22
|
Periode dari ledakan tembakau, setiap tahun berdatangan pengusaha
perkebunan baru
|
1880
|
49
|
|
1888
|
148
|
|
1891
|
169
|
Sumber : based, in
part, on E. C. J. Mohr, The Soils of
Equatorial Regions with Special
Reference to the Netherlands East Indies, p. 174
perkebunan tembakau di deli, 1905
sumber : kitlv.nl
KRISIS PERKEBUNAN TEMBAKAU SUMATERA TIMUR 1891
Perkembangan perkebunan tembakau di Deli, Langkat, dan Serdang akhirnya
mengalami kemunduran. Pada akhir dasawarsa delapan puluhan mulai tampak adanya
kelebihan produksi, terlebih pada tahun 1891, di mana panen tembakau mencapai
500.000 bal atau lebih banyak dari tahun sebealumnya. Akibat dari kelebihan
produksi tersebut menyebabkan terjadinya krisis sehingga harga tembakau jatuh
di pasaran dunia melebihi 50%. Krisis yang terjadi tersebut disebabkan oleh
beberapa faktor. pertama pasr dunia mengalami peningkatan penawaran tembakau,
terutama karena kenaikan produksi tembakau Deli. Kedua, UU tarif bea masuk Mc.
Kinley (tarif bea masuk atas impor tembakau ke Amerika Serikat) dinaikan sehingga
pada tahun 1891 pembelian tembakau oleh Amerika tidak terjadi. Akibat dari adanya
krisis tersebut maka beberapa perkebunan tembakau mulai ditutup sebagian.
Antara tahun 1890 sampai 1894 tidak kurang dari 25 perusahaan tembakau yang
memiliki banyak perkebunan di bubarkan. [9]
Tabel 2
Perluasan dan penyusutan industri tembakau seperti yang diperlihatkan dari
jumlah perkebunan penanaman tembakau.[10]
Tahun
|
Jumlah penanaman tembakau
|
Periode
|
Keterangan
|
1864
|
1
|
Periode perluasan
|
Nienhuis pelopor pengusahaan perkebunan
|
1872
|
22
|
Periode dari ledakan tembakau, setiap tahun berdatangan pengusaha
perkebunan baru
|
|
1880
|
49
|
||
1888
|
148
|
||
1891
|
169
|
||
1896
|
120
|
Periode penyusutan
|
Perubahan dalam tarif bea masuk atas impor tembakau ke amerika serikat pada tahun 1891
|
1904
|
114
|
Awal dari perubahan besar dari tembakau ke kopi, karet, dan kelapa sawit
|
Sumber :
based, in part, on E. C. J. Mohr, The
Soils of Equatorial Regions with Special
Reference to the Netherlands East Indies, p. 174
Akibat penting dari adanya krisis 1891 adalah tidak hanya dikuranginya luas
tanah yang ditanami tembakau, akan tetapi mulai ada peningkatan usaha penanaman
tanaman-tanaman perdagangan baru yang mempunyai prospek ekspor yang baik di
pasaran dunia layaknya tembakau, karena krisis 1891 memperlihatkan bahaya
ekonomi yang bergantung pada satu tanaman (monoculture
economy). Tanaman yang ditanaman dalam skala besar dan menguntungkan adalah
karet. Tanaman karet tersebut ditanam di daerah Serdang yang mulai diproduksi
secara serius dalam skala besar pada tahun 1906 setelah sebelumnya melakukan
penanaman percobaan dari tahun 1899 sampai tahun 1905.
BURUH PERKEBUNAN TEMBAKAU
Masalah mengenai tenaga kerja untuk perkebunan tembakau
asing sejak awal telah muncul, yaitu sejak pertama kali perkebunan milik Nienhuis
dibuka pada tahun 1863. Tidak seperti penduduk di Jawa yang padat dengan tanah
yang sempit, di Sumatera Timur penduduknya sedikit dan tanah relatif luas untuk
digarap sehingga tidak ada keinginan untuk bekerja di perkebunan asing untuk
mendapatkan penghasilan. Untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja tersebut Nienhuis
pergi ke Penang untuk memperkerjakan orang-orang Cina. Kemudian ketika modal
swasta mulai banyak masuk ke Hindia Belanda, hal serupapun juga dilakukan,
yaitu mencari tenaga kerja Cina ke Penang dan Singapura melalui perantara-perantara
(broker) Cina.
Pengerahan tenaga kerja lewat perantara tersebut cukup
memakan biaya yang mahal karena para perantara menuntut uang komisi yan tinggi
untuk jasa mereka, selain itu sistem rekruitmen tenaga kerja lewat perantara
menimbulkan penyelewengan, seperti terjadinya penculikan dan penipuan terhadap
calon tenaga kerja dengan cara membujuk calon tenaga kerja lewat janji yang
muluk-muluk untuk pergi ke Sumatera Timur tanpa mengetahui keadaan yang
sebenarnya. Oleh karena hal-hal tersebut, para pengusaha perkebunan mengambil
keputusan untuk mencari sendiri pekerja-pekerja di negeri Cina. Pada tahun 1879
para pengusaha perkebunan tembakau Sumatera Timur tergabung dalam perhimpunan
pengusaha-pengusaha perkebunan Deli (Deli
Planters Vereniging atu DPV) sebagai sebuah tempat untuk membicarakan
permasalahan yang dihadapi pengusaha perkebunan secara bersama-sama, termasuk
mengenai tenaga kerja. Pada tahun 1888, DPV mendrikan suatu biro imigarasi
untuk mengurus calon tenaga kerja dari Cina dan juga pengangkutannya dari Cina
ke Sumatera Timur, serta mengatur alokasi pekerja-pekerja tersebut di berbagai
perkebunan. Hasil yang diperoleh dari sistem ini cukup membuat tenaga kerja Cina
tumbuh pesat di Sumatera Timur, yaitu yang pada tahun 1888 mampu mendatangkan
1.152 pekerja, pada tahun 1889 menjadi 5.167 pekerja dan pada tahun 1890
menjadi 6.666 pekerja.[11]
Tabel 3
Kedatangan dan Keberangkatan Kuli Cina
di Sumatera Timur, Tahun 1888-1900 (lewat Kantor Imigrasi)
Tahun
|
Kedatangan
|
Jumlah
|
Berangkat
|
|
Cina
|
Strait Settlements
|
|||
1888
1889
1890
1891
1892
1893
1894
1895
1895
1897
1898
1899
1900
|
1.152
5.176
6.666
5.351
2.160
5.152
5.607
8.163
666
4.435
5.105
7.561
6.922
|
2.820
3.494
2.462
1.511
109
730
857
2.142
559
1.384
1.424
331
4
|
3.972
8.670
9.128
6.862
2.269
5.882
6.464
10.305
7.220
5.819
6.529
7.892
6.926
|
586
1.562
1.476
1.127
693
964
1.350
2.140
2.043
1.910
1.635
1.948
1.835
|
Jumlah
|
70.111
|
17.827
|
87.938
|
19.269
|
Besarnya pengeluaran perusahaan untuk mendatangkan tenaga
kerja dari Cina tentu tidak ingin merugi jika pekerjanya tersebut kabur sebelum
bekerja dengan waktu yang disepakati, maka para pekrja tersebut diikat dalam
sebuat sistem kontrak. Pada tahun 1888 Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan
peraturan pertama mengenai persyaratan hubungan kuli kontrak di Sumatera Timur
yang disebut Koeli Ordonnantie. Koeli
Ordonnantie tersebut memberikan jaminan pada perusahaan terhadap
kemungkinan pekerja-pekerja melarikan diri sebelum masa kontrak habis serta sebagai
bentuk jaminan perlindungan para pekerja terhadap perusahaan tindakan
sewenang-wenang. Peraturan mengenai buruh tersebut dilengkapi dengan aturan
hukum Poenalie Sanctie, yaitu apabila
pekerja-pekerja perkebunan melarikan diri dapat ditangkap oleh polisi dan
dibawa ke perkebunan dengan kekerasan jika melakukan perlawanan. Hukuman
lainnya dapat berupa kerja paksa tanpa bayaran ataupun perpanjangan masa kerja
melebihi ketentuan dalam kontrak kerja.[12]
Tidak hanya sebatas pada tenaga kerja/kuli Cina yang
diperkerjakan karena mereka pekerja yang efisien dan hemat,
perusahaan-perusahaan perkebunan juga menggunakan tenaga kerja dari Pulau Jawa.
Penduduk Jawa dipilih karena mereka rajin, tahan bekerja serta memiliki
kemampuan dalam bidang pertanian sehingga mampu menyesuaikan diri. Pada awalnya
pemerintah Hindia Belanda melarang adanya penduduk Jawa yang bekerja di
perkebunan Sumatera Timur, namun karena Pulau Jawa semakin sempit maka
dilakukan transmigrasi, selain itu banyak yang ingin menghindari pajak kepala
yang diterapkan oleh pemerintah.
Tabel 4
Jumlah kuli Cina dan Jawa di Sumatera
Timur tahun 1883-1930
Tahun
|
Cina
|
Jawa
|
Jumlah
|
1883
|
21.136
|
1.1711
|
22.874
|
1893
|
41.700
|
18.000
|
59.700
|
1898
|
50.846
|
22.256
|
73.102
|
1906
|
53.105
|
33.802
|
86.907
|
1913
|
53617
|
118.517
|
172.134
|
1920
|
27.715
|
209.459
|
237.174
|
1930
|
26.037
|
234.554
|
206.591
|
Sumber : Thee Kian Wie, Plantation Agricultural and Export Growth an Economic History of East Sumatera,
1863-1942, hlm, 39
Tenaga kerja dari Jawa yang didatangkan tidak hanya
laki-laki tapi juga perempuan. Para perempuan ini berkeja untuk mencari
ulat tembakau, menggaru tanah, menyortir, memilah, menggantungkan dan
mengikat daun-daun tembakau.
Dengan adanya tenaga kerja perkebunan dari luar Sumatera
Timur dan berbagai masyarakat yang masuk ke Sumatera
Timur dengan berbagai kepentingan mengakibatkan jumlah
penduduk di Sumatera Timur semakin meningkat. Pada tahun 1880 jumlah penduduk Sumatera
Timur berjumlah 118.755, naik menjadi 420.928 orang (naik 88%) pada tahun 1900.
Pada tahun 1905 penduduknya berjumlah 568.417 orang (naik 35%). Demikian pula
tahun 1915 penduduknya berjumlah 833.320 orang (naik 47%).
KESIMPULAN
Perluasan ekspansi wilayah oleh pemerintah Belanda
terhadap pulau-pulau di luar Jawa memberikan dampak yang mampu mengubah tatanan
wilayah tersebut, salah satunya bidang ekonomi. Sumatera, salah satu pulau yang
masih memiliki banyak lahan ‘kosong’ dan memiliki potensi untuk dikembangkan
menjadi perkebunan tidak lepas dari sorotan kolonial. Akan tetapi ekplotasi
yang benar-benar optimal adalah ketika dibukanya Hindia Belanda untuk modal
swasta sehingga perkebunan-perkebunan besar bermunculan, terutama perkebunan
tembakau di wilayah Sumatera Timur yang menjamur pasca tahun 1870 karena Jacob
Nienhuis memperkenalkan tembakau Deli ke Eropa pada tahun 1865 dengan kualitas
tembakau yang tinggi serta keuntungan yang besar.
Dengan Undang-Undang Agraria yang ditetapkan oleh
Pemerintah Hindia Belanda, para pengusaha swasta yang menanamkan modalnya
tersebut diperbolehkan menyewa lahan untuk perkebunan mereka. Hal tersebut
tidak cukup sulit karena raja-raja setempat memberikan hak sewa lahan dengan
jangka waktu yang lama. Untuk mengelola perkebunan-perkebunan tersebut
digunakan kuli-kuli dari luar Sumatera Timur, yaitu kuli Cina, baik yang
berasal dari Cina sendiri maupun dari Penang dan Singapura, serta tenaga kerja
dari Jawa. Kuli-kuli yang masuk tersebut dikontrakan dengan suatu kontrak yang
disebut Koeli Ordonantie. Di
perkebunan tembakau tidak hanya kuli laki-laki yang diperkerjakan, tetapi juga
wanita, bahkan anak-anak. Dengan masuknya tenaga kerja dari luar Sumatera
Timur, otomatis jumlah penduduk Sumatera Timur bertambah dengan berbagai ras
dan etnik.
Perkebunan-perkebuna tembakau tersebut mengalami titik
nadir kegemilangannya pada tahun 1891 ketika jumlah produksi lebih tinggi
dibandingkan permintaan pasar sehingga harganya jatuh sampai 50%. Akibat
kejadian tersebut banyak perusahaan yang menutup perkebunannya, sedangkan yang
lainnya berubah orientasi dengan menanam komoditi lain yang dapat setara dengan
keuntungan tembakau, yaitu karet.
Daftar Pustaka
Brown,
Ian. 1997. Economic
Change in South-East Asia, c. 1830-1980.
Oxford University Press : Kuala Lumpur.
Geertz, Clifford.1976. Involusi
Pertanian Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. Bhratara K.A : Jakarta.
Pelzer, Karl J. 1978. Planter
and Peasant Colonial Policy and the Agrarian Struggle in East Sumatera
1863-1947. The Hague : Netherland.
Reid,
Anthony. 2010. Soematera Tempo Doeloe Dari Marco Polo sampai Tan Malaka. Komunitas
Bamboe : Jakarta.
Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia. 2010. SNI Jilid IV : Kemunculan Penjajahan di Indonesia. Balai Pustaka:
Jakarta.
Wie, Thee Kian. Plantation Agricultural and Export Growth an
Economic History of East Sumatera, 1863-1942. LEKNAS-LIPI : Jakarta.
Yasmis. 2007. Kuli Kontrak di Perkebunan Tembakau
Deli-Sumatera Timur Tahun 1880-1915.Tesis di Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya Universitas Indonesia.
[1] Tim Nasional Penulisan
Sejarah Indonesia, 2010, SNI Jilid IV :
Kemunculan Penjajahan di Indonesia, Balai Pustaka: Jakarta, hal. 387-388
[2] Yasmis. 2007. Kuli Kontrak di
Perkebunan Tembakau Deli-Sumatera Timur Tahun 1880-1915, Tesis di FIB UI, hal.18
[3] Anthony Reid,2010, Soematera Tempo Doeloe Dari Marco Polo sampai
Tan Malaka, Komunitas Bamboe :
Jakarta, hal. 300
[4][4] Tanggal 1 Januari 1823 Sekretaris Gubernur Perusahaan Hindia Timur
Inggris di Penang, menugaskan Jhon Anderson untuk mensurvei Pantai Timur
Tamiang di Utara sampai ke Jambi di Selatan. Laporan Anderson mencakup uraian
tentang perjalanan dan gambaran Pantai Sumatera Timur yang dituangkan dalam
bukunya, Mission to the Eastcoast of Sumatra.
[5] Mereka menaburkan bibit di persemaian kecil, kemudian mencabut dan
menanamnya kembali sesudah dua puluh hari dalam deretan kira-kira 2 (dua) kubit
(45,72 cm). Dalam waktu 4 (empat) bulan tembakau siap dipanen. Pada saat
berusia 2 (dua) bulan pucuknya dipotong agar daun-daunnya bertambah lebar.
Apabila tanaman itu telah mempunyai tujuh helai daun, para penanam mulai
memanen daun-daun tembakau tersebut. Tanda tembakau siap dipanen adalah daunnya
mulai layu dan berwarna kecoklat-coklatan. Daun-daun tembakau dibiarkan
disinari matahari selama empat hari kemudian dimasukan ke dalam
keranjang-keranjang kecil dan siap untuk dipasarkan.
[6] Karl J. Pelzer, 1978, Planter and Peasant : Colonial Policy and
the Agrarian Struggle in East Sumatera 1863-1947,The Hague : Netherlands,
hal. 33
Tidak ada komentar:
Posting Komentar