Selasa, 10 Maret 2015

Konsep Hubungan Serantau




Hubungan tradisional Asia Tenggara dimulai sekitar abad ke-13 dan mencapai puncak kejayaannya pada abad ke 15 dengan munculnya Islam sebagai agamayang mulai menggantikan Hindu-Budha di Nusantara. Asia Tenggara tidak menjalankan hubungan resmi dengan negeri manapun kecuali Cina,  karena Cina dianggap memberikan keuantungan ekonomi dan politik terhadap negeri-negeri di Asia Tenggara.

Pada bab ini menjelaskan mengenai hubungan serantau pada zaman tradisional yang bermakna dinamis dan harmonis sebelum kedatangan bangsa barat sebagai rejim penjajah, yaitu sampai abad ke-16. Meskipun tidak selalu berjalan harmonis, bukan berarti negeri-negeri di Asia Tenggara selalu dalam keadaan bermusuhan, keadaan sosipolitik yang renggang serta kurang stabil disebabkan persaingan dan konflik yang ada di negeri itu sendiri. Pada dasarnya tidak ada peraturan yang pasti dalam mengatur hubugan yang terjadi di Asia Tengara, hanya kuasa fizikal yang dapat menjamin kestabilan politik dan kemakmuran masyarakat.

Konsep hubungan serantau ini dapat dikaji melalui dua aspek prinsip atau “pandangan dunia” serta aspek amalan.

a.    Pandangan Dunia Asia Tenggara

Hubungan yang terjadi dalam negeri Asia Tenggara adalah pencampuran antara pengaruh sosiobudaya dengan ajaran agama, baik Hindu, Budha, konfusius maupun Islam. Untuk memahami bentuk pandangan dunia yang dimaksud oleh Asia Tenggara adalah dengan memahami beberapa konsep  berikut :

(i)  Konsep Perajaan

Institusi perajaan adalah hal yang penting, karena raja dianggap sebagai puncak kekuasaan yang dapat menjamin kedamaian, kegemilangan serta kemakmuran rakyat dan negerinya. Berdasarkan prinsip dasabidharajadharma, seorang raja dibedakan dalam dua bentuk, yaitu raja yang baik dan alim dnegan raja yang bersifat kurang bertanggung jawab. Dengan moral raja yang baik dapat menentukan keselamatan dan kemakmuran masyarkatnya, apabila sebaliknya seorang raja bermoral buruk, maka akan menjadi pertanda kemerosotan dan kemusnahan masyarakatnya. Berdasarkan konsep cakravartiin, raja cakravartiin adalah peringkat tertinggi yang dapat dicapai oleh seorang raja dharma-raja serta dianggap sebagai raja bagi semua raja dan penakluk alam semesta.  Raja cakravartiin ini merupakan sebuah cita-cita tersendiri bagi raja-raja beragama Budha karena dapat menjadi alat legitimasi politik agung. Institusi perajaan yang berasaskan ajaran agama Budha menekankan bahwa kerajaan atau pemerintahan adalah sebagaian dari diri raja, yaitu hidup matinya tergantung pada kuasa moral raja tersebut.

Dalam agama Islam tidak jauh berbeda dengan yang diterapkan oleh kerajaan Budha. Di nusantara, kerjaan yang merupakan “metamorphosis” dari kerjaan Hindu Budha ke agama Islam menerkankan bahwa kedudukan seorang raja dalam geokosmpgi politik adalah yang tertinggi dan tidak dapat dipertikaikan. Seorang raja hanya mempertanggungjawabkan kegiatannya pada Tuhan yang telah merestuinya menjadi raja sehingga raja memiliki kedaulatan atas rakyatnya. Layaknya raja dalam agama Budha, seorang moral raja Islampun mejandi suatu hal yang penting dalam tegaknya negeri dan pemerintahan. Menurut Hikayat Pahang, seorang raja yang disayangi dan cintai oleh Allah adalah raja yang memiliki ciri –ciri sebgai berikut : malu, ilmu, akal, adil, murah dan keinsafan tentang pentingnya anama, adat dan patutu baginya dirinya sendiri dan juga bagi pihak yang berada di bawah wewenangnya.

Dengan konsep perajan ini menjelaskan betapa peran raja dan juga moralnya  penting dalam tegaknya sebuah negeri, karena raja merupakan penjelamaan dari negari itu sendiri. karena faktor pribadi raja itu yang menentukan bagaimana sebuah negeri, maka tidak heran apabila terjadi peruabahan pemerintahan atau kebijakan dalam suatu negeri apabila rajanya juga berganti.

(ii)              Konsep Negara/Mandala

Menurut teori ini, sebuah negeri tidak memiliki batas yang pasti secara fisik, di mana batas negeri ditentukan oleh pengaruh dari raja yang memerintah, sehingga batas negeri ini tidak selalu sama apabila terjadi pergantian raja. Mandala berarti bulatan, yaitu bidang kuasa raja yang berhadapan dengan kekuasaan raja lain. “Bulatan raja-raja” yang secara politik kosmologis menyatakan bahwa mandala mewakili sebuah unit politik tertentu yang keadaan politiknya kurang stabil dan setiap mandala mengandung beberapa raja-vasal.

Konsep mandala ini menekankan pada sebuah pusat kuasa kerajaan pusat yang berkembang ke daerah periferi. Raja agung pusat memiliki kuasa yang mutlak dan aktif dalam kawasan sekeliling istana saja dan tidak memperngaruhi raja di vasal-vasalnya, raja vasal bebas menjalankan kekuasaannya di negeri vasalnya tetapi Raja pusat hanya diikuti dalam hal tertentu saja,

(iii)            Konsep Hierarki Antarbangsa

Pada abad ke-16,  hierarki sosiopolitik serantau di bagi menjadi dua, yaitu peringkat negeri besar (Pegu, Tougoo, Ayudhya, dan Melaka-Johor) dan negeri kecil (Kemboja, Campa, Chiengmai dan Pattani). Hubungan antar negeri besar dan negeri kecil dikenal dengan hubungan tributari, yaitu negeri kecil yang terletak dalam padang kuasa seorang raja agung menunjukan sikap hormat dan taat setia kepada raja yang dipertuannya. Hubungan tributari diterima sebagai prinsip dalam interaksi sebuah negeri kecil dengan negeri besar yang terdekat dengannya. Sebagai penanda hubungan tributari, negeri kecil ini harus memberikan upeti, baik emas maupun perak, sebagai tanda bahwa negeri itu menghormati dan menyatakan setia. Apabila negeri besar menerima upeti tersebut berarti negara ini bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan pada negeri kecil tersebut. Hubungan tributari ini memberikan dampak positif terhadap sosiopolitik  rantau Asia Tenggara karena dapat menjamin keadaan damai dan tentram dalam lingkungan Asia Tenggara.

     Sistem tributari ini memiliki kedudukan pula dalam negeri Cina, yang mana negeri Cina berperan sebagai negeri besar sedangkan Asia Tenggara berperan sebgai negeri kecil. Hal ini teradi karena pada saat itu, Cina merupakan suatu kekuatan besar dan merupakan negara yang “beradab” (Cina beradab dikarenakan mengamalkan ajaran konfusius) sehingga banyak negeri yang ingin bekerjasama dengan Cina dalam bidang perdagangan.



b.  Amalan Hubungan Serantau

Hubungan serantau di Asia Tenggara terjalin baik sebelum munculnya bangsa barat, yaitu pada abad ke-17. Hubungan ini meliputi tiga aspek, yaitu sosiobudaya, politik dan diplomasi, dan perdagangan dan ekonomi. Dari aspek politik, tributari berkait erat dengan konsep mandala, yaitu prinsip yang menghubungkan antara pusat politik di Tanah Besar maupun di rantau di Asia Tenggara.

Pada pertengahan abad ke-14 perkembangan sosiopolitik di Asia Tenggara memunculkan sosiopolitik baru, muncul ajaran-ajaran agama baru seperti Budha Theravada yang mempengaruhi proses perkembangan politik, agama Islam yang berperan dalam negari-negeri maritim. Hal ini tetapi tidak mengubah sistem politik dan diplomasi di wilayah Asia Tenggara.

Pusat-pusat politik di Asia Tenggara sselain menjalin hubungan tributari, juga menjalin hubungan diplomasi, hubungan diplomasi ini menjadi erat dengan mnculnya tekanan barat sehiingga kerjasama yang kuat dijalain untuk menentukan keselamatan satu sama lain. Ikatan pernikahanpun tidak lepas dari sebuah hubungan politik diplomasi untuk mempererat hubungan persahabatan,kedudukan politik, kedamaian dan juga masalah ekonomi. Dengan adanya hubungan diplomasi ini, menumbuhkan pula cara lain untuk memperat antar negeri berkuasa, yaitu dengan perikatan politik dan ketentraman  lewat ancaman kekuasaan ketiga. Namun hubungan ekonomi dan perdagangan yang terlihat memberikan dampak positif dalam kerjasama serantau ini. Hubungan ekonomi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan ekonomi di Asia Tenggara pada abad ke-16, yaitu Cina membuka perdagangan pada para pedagang setempat dan pedagang bangsa lain, perkembangan teknologi perkapalan serta permintaan rempah-rempah dari Asia Tenggara yang semakin meningkat di pasaran Eropa. semakin meningktnya kegiatan ekonomi perdgangan di Asia Tenggara ini tentu memicu munculnya pusat-pusat perdagangan baru, serta munculnya pusat-pusat perdangan maritime yang dapat mempertemukan dua jenis barang dari wilayah setempat dan juga barang dari tempat asing. Hal akhirnya memunculkan sistem “pengkhususan” dalam proses menghasilkan bahan-bahan setempat. Perkembangan ekonomi yang terjadi Asia Tenggara ini mengubah corak perniagaan yang awalnya hanya sebatas kegiatan “menjaja” berubah menjadi  sistem perdagangan yang sistematis. Dengan terbinanya kerjasama ekonomi ini memberikan efek saling bergantung antar negeri sehingga apabila muncul suatu pertentangan politik dapat menggangu kemajuan masyarakat.

Dari aspek sosiobudaya, meskipun antara masyarakat Tanah Besar dan negeri maritime memliki perbedaan agama, namun dari beberapa aspek terdapat kesamaan sosiobudaya, seperti konsep kaum kerabat yang digunakan dalam bidang politik dan kekuasaan, aspek-aspek budaya dan adat yang diwarisi dari zaman animism hingga Hindu-Budha,dan konsep masyarakat yang berpusat di kampung. Sedangkan dalam hubungan sosial masyarakat, di Asia Tenggara hubungan ini menekankan hubunga pribadai terhadap saudara , tuan dan anak buah, raja dan penyokongnya, dengan tanggung jawab selalu bersifat vertikal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar