Hubungan tradisional Asia Tenggara
dimulai sekitar abad ke-13 dan mencapai puncak kejayaannya pada abad ke 15
dengan munculnya Islam sebagai agamayang mulai menggantikan Hindu-Budha di Nusantara.
Asia Tenggara tidak menjalankan hubungan resmi dengan negeri manapun kecuali
Cina, karena Cina dianggap memberikan
keuantungan ekonomi dan politik terhadap negeri-negeri di Asia Tenggara.
Pada bab ini menjelaskan mengenai
hubungan serantau pada zaman tradisional yang bermakna dinamis dan harmonis
sebelum kedatangan bangsa barat sebagai rejim penjajah, yaitu sampai abad
ke-16. Meskipun tidak selalu berjalan harmonis, bukan berarti negeri-negeri di
Asia Tenggara selalu dalam keadaan bermusuhan, keadaan sosipolitik yang
renggang serta kurang stabil disebabkan persaingan dan konflik yang ada di
negeri itu sendiri. Pada dasarnya tidak ada peraturan yang pasti dalam mengatur
hubugan yang terjadi di Asia Tengara, hanya kuasa fizikal yang dapat menjamin
kestabilan politik dan kemakmuran masyarakat.
Konsep hubungan serantau ini dapat
dikaji melalui dua aspek prinsip atau “pandangan dunia” serta aspek amalan.
a.
Pandangan
Dunia Asia Tenggara
Hubungan yang terjadi
dalam negeri Asia Tenggara adalah pencampuran antara pengaruh sosiobudaya
dengan ajaran agama, baik Hindu, Budha, konfusius maupun Islam. Untuk memahami
bentuk pandangan dunia yang dimaksud oleh Asia Tenggara adalah dengan memahami
beberapa konsep berikut :
(i)
Konsep
Perajaan
Institusi
perajaan adalah hal yang penting, karena raja dianggap sebagai puncak kekuasaan
yang dapat menjamin kedamaian, kegemilangan serta kemakmuran rakyat dan
negerinya. Berdasarkan prinsip dasabidharajadharma,
seorang raja dibedakan dalam dua bentuk, yaitu raja yang baik dan alim dnegan
raja yang bersifat kurang bertanggung jawab. Dengan moral raja yang baik dapat
menentukan keselamatan dan kemakmuran masyarkatnya, apabila sebaliknya seorang
raja bermoral buruk, maka akan menjadi pertanda kemerosotan dan kemusnahan
masyarakatnya. Berdasarkan konsep cakravartiin,
raja cakravartiin adalah peringkat
tertinggi yang dapat dicapai oleh seorang raja dharma-raja serta dianggap
sebagai raja bagi semua raja dan penakluk alam semesta. Raja cakravartiin
ini merupakan sebuah cita-cita tersendiri bagi raja-raja beragama Budha karena
dapat menjadi alat legitimasi politik agung. Institusi perajaan yang berasaskan
ajaran agama Budha menekankan bahwa kerajaan atau pemerintahan adalah sebagaian
dari diri raja, yaitu hidup matinya tergantung pada kuasa moral raja tersebut.
Dalam
agama Islam tidak jauh berbeda dengan yang diterapkan oleh kerajaan Budha. Di
nusantara, kerjaan yang merupakan “metamorphosis” dari kerjaan Hindu Budha ke
agama Islam menerkankan bahwa kedudukan seorang raja dalam geokosmpgi politik
adalah yang tertinggi dan tidak dapat dipertikaikan. Seorang raja hanya
mempertanggungjawabkan kegiatannya pada Tuhan yang telah merestuinya menjadi
raja sehingga raja memiliki kedaulatan atas rakyatnya. Layaknya raja dalam
agama Budha, seorang moral raja Islampun mejandi suatu hal yang penting dalam
tegaknya negeri dan pemerintahan. Menurut Hikayat Pahang, seorang raja yang
disayangi dan cintai oleh Allah adalah raja yang memiliki ciri –ciri sebgai
berikut : malu, ilmu, akal, adil, murah dan keinsafan tentang pentingnya anama,
adat dan patutu baginya dirinya sendiri dan juga bagi pihak yang berada di
bawah wewenangnya.
Dengan
konsep perajan ini menjelaskan betapa peran raja dan juga moralnya penting dalam tegaknya sebuah negeri, karena
raja merupakan penjelamaan dari negari itu sendiri. karena faktor pribadi raja
itu yang menentukan bagaimana sebuah negeri, maka tidak heran apabila terjadi
peruabahan pemerintahan atau kebijakan dalam suatu negeri apabila rajanya juga
berganti.
(ii)
Konsep
Negara/Mandala
Menurut
teori ini, sebuah negeri tidak memiliki batas yang pasti secara fisik, di mana
batas negeri ditentukan oleh pengaruh dari raja yang memerintah, sehingga batas
negeri ini tidak selalu sama apabila terjadi pergantian raja. Mandala berarti bulatan, yaitu bidang
kuasa raja yang berhadapan dengan kekuasaan raja lain. “Bulatan raja-raja” yang
secara politik kosmologis menyatakan bahwa mandala
mewakili sebuah unit politik tertentu yang keadaan politiknya kurang stabil dan
setiap mandala mengandung beberapa
raja-vasal.
Konsep
mandala ini menekankan pada sebuah
pusat kuasa kerajaan pusat yang berkembang ke daerah periferi. Raja agung pusat
memiliki kuasa yang mutlak dan aktif dalam kawasan sekeliling istana saja dan
tidak memperngaruhi raja di vasal-vasalnya, raja vasal bebas menjalankan
kekuasaannya di negeri vasalnya tetapi Raja pusat hanya diikuti dalam hal
tertentu saja,
(iii)
Konsep
Hierarki Antarbangsa
Pada
abad ke-16, hierarki sosiopolitik
serantau di bagi menjadi dua, yaitu peringkat negeri besar (Pegu, Tougoo,
Ayudhya, dan Melaka-Johor) dan negeri kecil (Kemboja, Campa, Chiengmai dan
Pattani). Hubungan antar negeri besar dan negeri kecil dikenal dengan hubungan
tributari, yaitu negeri kecil yang terletak dalam padang kuasa seorang raja
agung menunjukan sikap hormat dan taat setia kepada raja yang dipertuannya.
Hubungan tributari diterima sebagai prinsip dalam interaksi sebuah negeri kecil
dengan negeri besar yang terdekat dengannya. Sebagai penanda hubungan tributari,
negeri kecil ini harus memberikan upeti, baik emas maupun perak, sebagai tanda
bahwa negeri itu menghormati dan menyatakan setia. Apabila negeri besar
menerima upeti tersebut berarti negara ini bertanggungjawab untuk memberikan
perlindungan pada negeri kecil tersebut. Hubungan tributari ini memberikan
dampak positif terhadap sosiopolitik
rantau Asia Tenggara karena dapat menjamin keadaan damai dan tentram
dalam lingkungan Asia Tenggara.
Sistem tributari ini memiliki kedudukan pula dalam negeri Cina,
yang mana negeri Cina berperan sebagai negeri besar sedangkan Asia Tenggara
berperan sebgai negeri kecil. Hal ini teradi karena pada saat itu, Cina
merupakan suatu kekuatan besar dan merupakan negara yang “beradab” (Cina
beradab dikarenakan mengamalkan ajaran konfusius) sehingga banyak negeri yang ingin
bekerjasama dengan Cina dalam bidang perdagangan.
b.
Amalan Hubungan Serantau
Hubungan
serantau di Asia Tenggara terjalin baik sebelum munculnya bangsa barat, yaitu
pada abad ke-17. Hubungan ini meliputi tiga aspek, yaitu sosiobudaya, politik
dan diplomasi, dan perdagangan dan ekonomi. Dari aspek politik, tributari
berkait erat dengan konsep mandala,
yaitu prinsip yang menghubungkan antara pusat politik di Tanah Besar maupun di rantau
di Asia Tenggara.
Pada
pertengahan abad ke-14 perkembangan sosiopolitik di Asia Tenggara memunculkan
sosiopolitik baru, muncul ajaran-ajaran agama baru seperti Budha Theravada yang
mempengaruhi proses perkembangan politik, agama Islam yang berperan dalam
negari-negeri maritim. Hal ini tetapi tidak mengubah sistem politik dan
diplomasi di wilayah Asia Tenggara.
Pusat-pusat
politik di Asia Tenggara sselain menjalin hubungan tributari, juga menjalin
hubungan diplomasi, hubungan diplomasi ini menjadi erat dengan mnculnya tekanan
barat sehiingga kerjasama yang kuat dijalain untuk menentukan keselamatan satu
sama lain. Ikatan pernikahanpun tidak lepas dari sebuah hubungan politik
diplomasi untuk mempererat hubungan persahabatan,kedudukan politik, kedamaian
dan juga masalah ekonomi. Dengan adanya hubungan diplomasi ini, menumbuhkan
pula cara lain untuk memperat antar negeri berkuasa, yaitu dengan perikatan
politik dan ketentraman lewat ancaman
kekuasaan ketiga. Namun hubungan ekonomi dan perdagangan yang terlihat
memberikan dampak positif dalam kerjasama serantau ini. Hubungan ekonomi ini
dipengaruhi oleh beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan ekonomi
di Asia Tenggara pada abad ke-16, yaitu Cina membuka perdagangan pada para
pedagang setempat dan pedagang bangsa lain, perkembangan teknologi perkapalan
serta permintaan rempah-rempah dari Asia Tenggara yang semakin meningkat di
pasaran Eropa. semakin meningktnya kegiatan ekonomi perdgangan di Asia Tenggara
ini tentu memicu munculnya pusat-pusat perdagangan baru, serta munculnya
pusat-pusat perdangan maritime yang dapat mempertemukan dua jenis barang dari
wilayah setempat dan juga barang dari tempat asing. Hal akhirnya memunculkan
sistem “pengkhususan” dalam proses menghasilkan bahan-bahan setempat. Perkembangan
ekonomi yang terjadi Asia Tenggara ini mengubah corak perniagaan yang awalnya
hanya sebatas kegiatan “menjaja” berubah menjadi sistem perdagangan yang sistematis. Dengan
terbinanya kerjasama ekonomi ini memberikan efek saling bergantung antar negeri
sehingga apabila muncul suatu pertentangan politik dapat menggangu kemajuan
masyarakat.
Dari
aspek sosiobudaya, meskipun antara masyarakat Tanah Besar dan negeri maritime
memliki perbedaan agama, namun dari beberapa aspek terdapat kesamaan
sosiobudaya, seperti konsep kaum kerabat yang digunakan dalam bidang politik
dan kekuasaan, aspek-aspek budaya dan adat yang diwarisi dari zaman animism
hingga Hindu-Budha,dan konsep masyarakat yang berpusat di kampung. Sedangkan
dalam hubungan sosial masyarakat, di Asia Tenggara hubungan ini menekankan
hubunga pribadai terhadap saudara , tuan dan anak buah, raja dan penyokongnya,
dengan tanggung jawab selalu bersifat vertikal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar