Asia Tenggara merupakan istilah yang
muncul setelah perang dunia kedua. Namun tidak berarti bahwa “Asia Tenggara”
itu sendiri tidak ada secara nyata dalam hubungan sosiobudaya, politik dan
ekonomi sebelum perang dunia kedua tersebut.
Asia Tenggara terbagi dalam dua
wilayah secara umun, yaitu Asia Tenggara daratan dan Asia Tenggara kepulauan.
Penduduk Asia Tenggara ini merupakan keturunan beberapa rumpun etnik besar
zamaan prasejarah dan sejarah.
Masyarakat Asia Tenggara menganut sistem
kepercayaan animisme dan dinamisme sebelum mengalami pengindiasasian pada abad
pertama masehi. Dengan munculnya agama dalam kehidupan masyarakat Asia Tenggara,
Budha dan Hindu, mempengaruhi secara mendalam konsep politik dan sosibudaya masyarakat.
Namun tidak semua wilayah di Asia Tenggara ini mengalamai proses indianisasi,
seperti Vietnam dan Filipina. Meskipun begitu, wilayah yang mengalamai proses
indianisasi tidak serta merta menerima secara penuh indianisasi ini, setiap
wilayah memiliki local genius masing-masing sehingga indanisasi disesuaikan dengan
keadaan sosiopolitik dan budaya masyarakat setempat.
Telah disebutkan di awal bahwa, Asia
Tenggara merupakan daerah daratan dan kepulauan, dengan begitu secara geografi
Asia Tenggarapun penuh dengan hutan belantara dan gunung-gunung yang menyulitkan
komunikasi antar wilayah sehingga salah satu jalur untuk mempermudah hubungan antar
wilayah adalah sungai, karena itu pusat kerajaan kebanyakan berada di dekat
sungai.
Pengaruh agama Hindu dan Budha pada
awal masehi memiliki persamaan secara fisik dalam segi budaya, seperti
kepercayaan akan hubungan manusia dengan dunia kedewaan, struktur kota dipagar
oleh dinding batu dan benteng kayu, di mana istana terdapat didalamnya, rumah
kayu untuk golongan pembesar dan penduduk. hanya kuil dan tempat keagamaan yang
menggunakan batu bata di tengah kota tersebut seperti gunung meru, yang
dianggap sebagai sumber kekuatan rohani dan duniawi. Selain itu, persamaan
fisik dari pusat kuasa tersebut juga mementingkan kawasan lembah dan kuala
sungai-sungai yang mengalir dari kawasan gunung ke lembah dan laut. kawasan
yang subur dari laut dan sungai ini menjadi tempat aktivitas peprdagangan serta menjadikan wilayah ini unit-unit
politik yang sederhana. Meskipun kendala alam ini menghalangi hubungan antara
satu pusat kuasa dengan yang lainnya, maka terdapat suatu usaha pusat kuasa
dengan menggunakan satu sistem politik yang dinamakan supra wilayah. yaitu
pusat supra wilayah dan pusat kuasa wilayah membuat tuntutan politik dan
ekonomi terhadap beberapa pusat kuaasa yang lainnya. pemerintah pusat supra
wilayah kadang menunjukan kewibawaan dan pengaruhnya lewat perang ataupun
kekayaan ekonomi. dengan menunjukan hal tersebut, sebuah pemerintahan atau raja
dapat mengekalkan kekuasaannya terhadap pusat kuasa di bawahnya.
Negeri-negeri di Asia Tenggara ini
dibagi menjadi dua kategori, yaitu negeri pedalaman dan negeri maritim. ciri
penting dari kedua negeri ini adalah ciri politik dan ekonominya. Dimana negeri
pedalaman sistem politiknya adalah politik kuku besi dan sitem ekonomi adalah
pertanian, sedangkan negeri maritim sistem politikya adalah liberal dan sistem
ekonominya perdagangan. Hal tersebut tidak menunjukan perkembangan sebenarnya
terhadap asia tenggara, di mana tidak semua negeri hanya berbasis pada salah
satu bentuk, contohnya Kerajaan Siam dan Toungoo, di mana ciri sosioekonomi mirip
negara maritim, tetapi geografi dan politiknya cenderung ke negeri pedalaman.
Dari segi sosiopolitik, terdapat konsep
dan sistem politik yang dijalankan di negeri-negeri Asia Tenggara dirumuskan
dalam dua sekolah asas, yaitu sekolah “sosiologi” dan sekolah “pemerintahan
kuku besi ketimuran”. Sekolah sosiologis yaitu sistem politik yang dijalankan dikalangan
pusat kuasa yang dipengaruhi oleh Hindu-Buddhisme-Islam, yang mana agama
menjadi pengejawantahan bahwa raja memiliki kewibawaan dan hubungan istimewa
dengan dunia kedewaan, sedangkan sekolah pemerintahan kuku besi ketimuran
menekankan pada aspek-aspek penting masyarakat tradisional Asia Tenggara
termasuk aspek pertanian yang bergantung pada sistem pengairan yang diurus oleh
kuasa pusat untuk menghasilkan keperluan sehari-hari rakyat (Hydraulic Society). Dengan menguasai
institusi agama dan sistem pengairan, seorang
raja dapat menjamin kekuasaan negerinya secara mutlak, baik tanah maupun
rakyat. Kedua sekolah tersebut memiliki tiga aspek yang berkaitan dengan teori
kekuasaan pusat tradisional, yaitu pentingnya agama sebagai institusi keamanan
dan kestabilan masyarakat; peranan perniagaan yang dianggap tidak penting dalam
masyarkat; dan ketiadaan konsep sejarah sebagai suatu perkembangan dinamis.
Dari segi ekonomi, Asia Tenggara
mengalami perubahan yang signifikan pada abad ke-13 dan abad ke-17. Sistem satu
entreport berubah menjadi beberapa entreport, baik skala kecil maupun besar. sistem
perdagangan baru pun memberikan dampak positif, dan bahasa Melayu menjadi lingua franca dikalangan masyarakat Asia
Tenggara.
Ringkasan Perkembangan
Pusat Kuasa Tempatan
Selama jangka waktu tiga abad, yaitu
abad ke-14 hingga ke-17, muncul pusat-pusat kuasa tradisional di Asia Tenggara,
seperti Tougo di Myanmar, Ayudhya di Siam,Viantine di Laos, Hue di Vietnam, Melaka
dan Johor di Tanah Melayu, Aceh di Suamtera dan Mataram di Jawa. Semua kerajaan
tersebut mengalami perkembangan sosio politik yang sama seperti ketidakstabilan
politik. Dari aspek budaya, negeri-negeri Asia Tenggara pada zaman tradisional
terbagi dalam dua kategori yaitu yang berbudaya induk , India, dan negara yang
berbudaya “Sinicized” atau kecinaan.
#review buku ASIA
TENGGARA : HUBUNGAN TRADISIONAL SERANTAU (KOBKUA
SUWANNATHAT-PIAN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar